Masih Dapat Sentimen Negatif, Begini Prospek Emiten Teknologi Non E-commerce



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten sektor teknologi non e-commerce diprediksi masih akan dipengaruhi sentimen negatif. Menurut hasil studi Google, nilai ekonomi digital Indonesia pada tahun 2022 sebesar US$ 77 miliar, atau tumbuh 22% secara tahunan. 

Angka tersebut diprediksi akan meningkat hampir dua kali lipat hingga sekitar US$ 130 miliar pada tahun 2025.

Di sisi lain, transisi kehidupan ke digitalisasi bisa meningkatkan demand perusahaan teknologi non e-commerce untuk mengembangkan produk antiserangan siber.


Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia memang sudah diproyeksikan. Hal tersebut diawali dengan adanya Pandemi COVID-19 yang membuat pergeseran perubahan perilaku masyarakat.

Baca Juga: Kinerja Dyandra Media (DYAN) Diproyeksi Positif, Cermati Rekomendasi Analis

“Masyarakat sebelumnya menjalani hidup secara konvensional, kini menjadi menerapkan digitalisasi,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (20/8).

Meskipun begitu, fokus pertumbuhan ekonomi digital Indonesia saat ini masih pada perkembangan e-commerce. Hal itu didorong dengan tingkat konsumsi masyarakat yang masih tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tak terlalu tinggi, meskipun masih stabil.

“Hal ini tentunya akan memberikan dorongan untuk prospek ekonomi digital Tanah Air secara keseluruhan,” ungkapnya.

Nafan pun mengakui bahwa kinerja bisnis emiten teknologi di Indonesia secara keseluruhan masih belum menguntungkan. 

“Mau tidak mau, investor emiten teknologi Indonesia harus bersabar untuk menunggu emiten menyentuh profit nantinya,” paparnya.

Namun, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani melihat, sentimen positif tersebut belum bisa mendorong kinerja emiten sektor teknologi, baik e-commerce maupun non e-commerce.

“Berita positif tersebut tidak akan berpengaruh, karena kinerja emiten teknologi berkaitan dengan ekspektasi jangka panjang,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (20/8).

Arjun melihat, sektor teknologi masih mengalami dampak akibat dari persepsi negatif oleh investor. Sebab, emiten e-commerce big caps masih menjadi pemberat, karena masih mencatat rugi.

“Fundamental emiten teknologi juga masih kurang kondusif,” ungkapnya.

Hal itu pun membuat emiten teknologi secara keseluruhan juga ikut turun. 

Beberapa emiten teknologi yang kinerja harga sahamnya naik secara year to date (YTD) dinilai Arjun hanya akibat digerakkan oleh pasar.

Baca Juga: Volume Penjualan Indocement (INTP) Naik 25% pada Juli, Cek Rekomendasi Sahamnya

“Harga saham emiten teknologi yang naik secara YTD digerakkan oleh aksi traders,” paparnya.

Melansir laman BEI, Minggu (20/8), IDX Sector Technology secara YTD sudah turun 13,94%.

Arjun mengatakan, per Jumat (18/8), EMTK berada di posisi pertama laggard yang menyumbang penurunan poin terbesar di IDX Sector Technology secara YTD, dengan penurunan harga saham sebesar 47,56%. Lalu, diikuti BUKA yang turun 15,55%, DMMX -10,94%, DCII -9,8%, dan TECH -9,44%.

Menurut Arjun, hasil studi Google sudah dibicarakan sejak lama. Namun, investor masih akan lebih mementingkan kondisi dan sentimen dari perusahaan-perusahaan teknologi terkait.

“Saat ini, fundamental emiten teknologi dinilai masih kurang bagus. Beberapa emiten masih mengalami kerugian dan valuasinya tidak wajar,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Nafan belum memberikan rekomendasi untuk saham emiten teknologi non e-commerce. Sementara, Arjun merekomendasikan sell untuk saham emiten teknologi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi