Masih Menarikkah Saham Emiten Rokok? Simak Kata Sejumlah Analis Berikut



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu kesehatan hingga kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok dinilai menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja emiten produsen rokok atau emiten rokok pada sepanjang 2022.

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan, sepanjang 2022, beberapa emiten rokok masih bisa membukukan laba double digit seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) membukukan laba bersih sebesar Rp 249,33 miliar pada tahun 2022, atau naik 41,4% dibanding tahun 2021 sebesar Rp176,66 miliar.

Sehingga WIIM mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 3,70 triliun sepanjang 2022. Angka ini naik 35,53% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 2,73 triliun.


Selanjutnya, PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC) mencatatkan penjualan sepanjang 2022 sebesar Rp 279,18 miliar. Angka ini naik 17,11% dari pada tahun sebelumnya 2021 sebesar Rp 238,4 miliar.

Sehingga, ITIC membukukan laba tahun berjalan sebesar Rp 23,95 miliar. Laba ini naik 30,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 18,37 miliar.

Baca Juga: Saham Emiten Rokok Menguat di Tengah Sentimen Negatif, Berikut Saran dari Analis

Sedangkan, PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) mengalami penurunan penjualan Rp 6,77 triliun sepanjang 2022. Penjualan itu turun 19,60% dari periode yang sama tahun sebelumnya di 2021 sebesar Rp 8,41 triliun.

Walaupun begitu, RMBA meraih laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk Rp 952,40 miliar sepanjang 2022. Angka ini naik 11805% dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 7,96 miliar.

Praska mengatakan apabila ditarik secara lebih luas penurunan kinerja industri rokok disumbang oleh perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar yaitu PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang mencatatkan laba bersihnya turun 11,4% menjadi Rp 6,32 triliun per akhir tahun 2022, dari sebelumnya pada periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp7,14 triliun.

Padahal, penjualan bersihnya tumbuh 13,2% menjadi Rp 111,21 triliun per 31 Desember 2022, dibandingkan tahun sebelumnya 2021 sebesar Rp 98,87 triliun.

Sementara, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencatat kinerja laba bersih hingga kuartal III-2022 sebesar Rp1,49 triliun atau anjlok sebesar 63,92%, dibandingkan periode yang sama pada 2021 sebesar Rp 4,13 triliun.

Meski laba menyusut, pendapatan GGRM naik tipis menjadi Rp 93,91 triliun dari sebelumnya yang sebesar Rp 92,07 triliun.

Menurut praska selain kenaikan tarif cukai, yang membebani kinerja emiten rokok ditambah dengan tarif pita cukai masih mendominasi lebih dari 50%, dimana berpotensi menganggu margin profit dari perusahaan.

Baca Juga: Saham Rokok Cenderung Menguat, Tapi Lebih Cocok untuk Trading

Praska mengatakan diversifikasi bisnis emiten rokok sudah mulai terlihat dengan adanya produk baru yaitu rokok elektrik seperti HMSP dengan IQOS, lalu ada RMBA dengan Velo (Nicotine Pouch).

"Trend ini masih early adoption, dikarenakan masyarakat luas masih mengkonsumsi rokok yang konvensional sehingga kenaikan penjualan dari rokok modern ini masih belum mendorong kinerja bisnis emiten rokok secara signifikan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (4/4).

Menurut Praska saham-saham emiten rokok masih menarik untuk dikoleksi apabila emiten rokok bisa mempertahankan volume penjualan yang disertai dengan menaikkan harga jual rokok lantaran untuk mengimbangi dari kenaikan cukai rokok yang kembali meningkat 10% ditahun 2023.

Disisi lain, apabila ingin koleksi emiten rokok maka investor dapat berfokus kepada emiten yang memiliki volume yang besar serta harga jual yang kompetitif seperti WIIM.

Praska mengatakan sentimen positif untuk rokok adalah kenaikan cukai 10% yang sudah di priced in oleh emiten sehingga adanya kepastian emiten dalam menentukan harga rokok.

Serta apabila melihat dari sisi masyarakat rokok ini sudah bisa dibilang menjadi bagian dari kebutuhan pokok, maka yang harus diperhatikan adalah consumer confidence index.

Sementara sentimen negatif bagi emiten rokok selain kenaikan cukai rokok 10% adalah adanya kesadaran akan pola hidup sehat yang mulai berkembang setelah pandemi Covid-19.

Praska menambahkan, yaitu loyalitas terhadap merk rokok rendah, masyarakat sangat mudah berpindah ke merk lain apabila merk lain tersebut memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan merk yang sebelumnya dipakai.

Sementara, Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan dengan kenaikan cukai yang signifikan di tahun lalu, mayoritas emiten rokok terbebani sehingga laba bersih turun.

Baca Juga: IHSG Melorot 0,98% Hari Ini (20/3), BBCA, HMSP, INKP Paling Banyak Net Buy Asing

"Selain itu akibat harga bahan baku nya juga kembali naik serta persaingan ketat dan kenaikan cukai yang signifikan di tahun lalu dan tahun ini masi lanjut membuat emiten rokok terbebani kinerjanya," jelasnya.

Cheril mengatakan diversifikasi usaha seperti pembangunan bandara yang dilakukan GGRM masih membutuhkan waktu untuk melihat keberhasilan kinerjanya sehingga baru dapat terlihat pada jangka panjang.

Menurut Cheril beberapa emiten rokok ke depannya masih belum menarik untuk jangka pendek karena harga sahamnya masih downtrend.

Sentimen yang dapat mempengaruhi kinerja emiten rokok berasal dari adanya penyesuaian kenaikan harga yang diharapkan akan meningkatkan profitability emiten rokok, Namun yang menjadi sentimen negatif berasal dari kenaikan cukai dan persaingan ketat.

Praska merekomendasikan untuk emiten rokok pada tahun 2023 mengambil posisi wait and see terlebih dahulu. Namun, bisa memperhatikan saham WIIM di target harga Rp 810.

Senada, Cheril merekomendasikan wait and see terlebih dahulu untuk emiten rokok, apalagi di bulan puasa penjualan rokok cenderung mengalami penurunan.

 
WIIM Chart by TradingView

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto