Masih Ramai Penolakan, Ditjen Pajak Rilis Penjelasan Lengkap soal PPN 12%



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penolakan dari masyarakat terkait kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025 masih berlangsung.

Atas dasar itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberikan 10 poin keterangan mengenai kebijakan tersebut.

1. DJP menyebut kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. 


Sesuai kesepakatan Pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

"Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," tulis Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangan resminya, Sabtu (21/12).

Baca Juga: Pemerintah Umumkan Paket Kebijakan Ekonomi Kompensasi PPN 12%, Ini Kata CELIOS

 2. DJP menegaskan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. Barang dan jasa tersebut seperti:

a) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran 2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

b) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025. 

3. DJP mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri.

Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini disebut tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.

Baca Juga: Sambut Tahun Baru, Hujan Pungutan Pajak Siap Membayangi Dompet Masyarakat

4. DJP menegaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Hitungan DJP, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.

5. Menjawab pertanyaan mengenai PPN atas uang elektronik dan dompet digital (ewallet), DJP menyampaikan bahwa jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. 

Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut. 

"Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru," kata Dwi.

DJP menegaskan, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah.

Baca Juga: Pemerintah Klaim PPN 12% Tidak Berdampak Inflasi, Ini Kata Ekonom

6. DJP menyampaikan bahwa transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran. Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. 

Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru.Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut penyelenggara jasa dari pemilik merchant. 

Sebagai contoh, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut: 

Pada Desember 2024, Pablo membeli TV seharga Rp5.000.000. Atas pembelian tersebut, terutang PPN sebesar Rp550.000, sehingga total harga yang harus dibayarkan oleh Pablo adalah sebesar Rp5.550.000. 

Atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Pablo tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya. Artinya, jasa sistem pembayaran melalui QRIS bukan merupakan objek pajak baru.

7. DJP menegaskan bahwa biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, Youtube Premium, dan sebagainya merupakan objek pajak PPN PMSE sebagaimana diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. 

Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru. 

Baca Juga: Gaikindo Sebut Insentif Pajak Otomotif Beri Keyakinan Hadapi Kenaikan PPN 12%

8. Atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Artinya, atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher bukan merupakan objek pajak baru.

9. DJP menyampaikan bahwa atas transaksi penjualan tiket konser musik dan sejenisnya, bukan merupakan objek PPN tetapi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diadministrasikan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

10. Atas transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994, terutang PPN. 

"Artinya, transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri bukan merupakan objek PPN baru," tulis Dwi.

Baca Juga: Menko Airlangga Tegaskan Transaksi QRIS dan e-Toll Tidak Dikenakan PPN 12%

11. Berdasarkan hitungan Pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%. Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%. Dengan demikian, DJP menilai bahwa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.

12. Melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat. Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. 

Di tahun 2022 tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19. Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

13. Sebagaimana telah diumumkan dalam Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 16 Desember 2024, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok masyarakat tidak atau kurang mampu,  mulai dari dukungan untuk rumah tangga, dukungan untuk pekerja, stimulus untuk UMKM, dukungan untuk sektor industri padat karya hingga stimulus untuk sektor perumahan dan otomotif.

14. Pemberian paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan tersebut akan melengkapi berbagai program pemerintah yang saat ini telah dianggarakan dalam APBN 2025 senilai Rp 1.549,5 triliun khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat.

15. DJP menilai kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan memperkuat penerimaan negara di APBN sehingga dapat mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, termasuk membiayai program-program pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat kurang mampu.

Berdasarkan baseline penerimaan PPN tahun 2023, dengan asumsi basis yang sama, potensi penerimaan PPN (PPN DN dan PPN Impor) dari penyesuaian tarif 11% menjadi 12% ini mencapai Rp75,29 triliun.

Baca Juga: Benarkah Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12%? DJP Buka Suara

16. Terkait rencana pemerintah untuk mengenakan PPN atas “barang kebutuhan pokok premium” dan “jasa kesehatan/pendidikan premium”, DJP menyampaikan beberapa poin penting.

Pertama, Kementerian Keuangan akan membahas kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu.

Kedua, atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait.

Selanjutnya: Robert Kiyosaki Sebut, Aset Terbaik untuk Uang Anda Saat Ini: 3 Investasi Berikut

Menarik Dibaca: Robert Kiyosaki Sebut, Aset Terbaik untuk Uang Anda Saat Ini: 3 Investasi Berikut

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat