KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu ungkapan populer di pasar saham Amerika Serikat (AS), Wall Street, yang masih jadi perhatian para investor adalah Sell in May and Go Away. Apakah investor perlu melakukannya atau mengabaikannya? Kepala strategi ekuitas AS di Credit Suisse, Jonathan Golub, mengatakan ungkapan tersebut tidak mendapat cinta lagi di Wall Street tahun ini. Kendati demikian, perdebatan soal itu masih saja berlangsung hingga saat ini. Para pakar pasar saham mengakui bahwa sejarah menunjukkan periode enam bulan terkuat pasar saham ada di bulan November hingga April. Namun ada juga yang mengatakan bahwa sejarah itu tidak selalu membentuk rencana investor untuk masuk pasar saham.
“Setiap strategi investasi yang dapat Anda rangkum dalam sebuah rima mungkin merupakan strategi yang buruk,” kata Golub, seperti dilansir CNBC, Selasa (4/5). Baca Juga: Benarkah Sell in May and Go Away terjadi di Indonesia? Golub malah memprediksi targetkan indeks S&P 500 pada hari Jumat menjadi 4.600 untuk akhir tahun dari 4.300, berdasarkan pendapatan yang kuat. Ia memang mengatakan rata-rata kinerja pasar memang mengikuti pola pelemahan antara Mei dan Oktober, tapi itu bukan alasan untuk keluar dari saham. “Ini akan sangat masuk akal jika setiap Mei terlihat sama dengan Mei tahun sebelumnya,” kata Golub. Membandingkan tahun ini dengan tahun lalu menunjukkan perbedaan yang sangat besar. "Mei lalu tahun lalu, pasar melonjak." Golub mengatakan sekarang latar belakang telah berubah total, setelah banyak negara dan perekonomian tertekan tahun lalu akibat pandemi. Saat ini justru periode dimana ekonomi mulai pulih. Sebagai contoh ia mengatakan saat ini pendapatan perusahaan di AS mengalahkan perkiraan analis dengan pertumbuhan sebesar 22% - 22% yang tak pernah terdengar sebelumnya. Kemudian data-data ekonomi juga sangat fenomenal.