Masihkah Gagal Bayar Obligasi Korporasi Membayangi Investor?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko gagal bayar surat utang masih membayangi. Berkaca pada tahun 2022, tercatat beberapa perusahaan gagal bayar ataupun peringkatnya diturunkan (downgrade).

Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Hendro Utomo mengungkapkan bahwa terdapat satu emiten yang diperingkat oleh Pefindo tidak mampu memenuhi kewajibannya selama tahun 2022.

PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) berhalangan untuk membayar kupon obligasi berkelanjutan I Tahap II Tahun 2019 yang akan jatuh tempo pada tanggal 31 Januari 2022. Hal tersebut menyusul penetapan status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang menimpa WSBP di awal tahun 2022.


Hendro bilang, saat itu Pefindo menurunkan peringkat WSBP dan surat utang senilai Rp 1,5 triliun menjadi peringkat “D” (default). Barulah pada kuartal III-2022, WSBP sudah menyepakati restrukturisasi utang dengan kreditur-krediturnya.

Baca Juga: Kinerja Reksadana Masih Bisa Bertumbuh di Tengah Gejolak Sepanjang Tahun 2022

Jumlah perusahaan yang gagal bayar sebenarnya sudah berkurang apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja, banyak pula perusahaan yang menunda kewajiban pembayarannya, sehingga rating di-downgrade.

Hendo memaparkan, sepanjang tahun 2022 ada empat perusahaan yang diturunkan peringkatnya oleh Pefindo. Pertama, perusahaan berasal dari sektor manufaktur yang gagal bayar dalam memenuhi kewajiban keuangannya akibat penetapan status PKPU yakni WSBP.

Masih dari perusahaan sektor manufaktur, namun kali ini peringkat perusahaan mengalami downgrade akibat kinerja arus kas yang menurun. Ditengarai lesunya kinerja imbas kenaikan harga bahan baku dan fleksibilitas yang terbatas dalam menaikkan harga jual, dan ada kewajiban keuangan yg akan jatuh tempo.

Lalu, terdapat satu perusahaan asuransi yang alami downgrade akibat kenaikan klaim dari produk asuransi kredit sehingga menyebabkan pelemahan hasil underwriting, laba bersih dan indikator permodalan.

Terakhir adalah perusahaan kontraktor pertambangan yang mengalami downgrade. Nah, perusahaan kontraktor pertambangan ini adalah PT Ricobana Abadi, anak usaha dari PT SMR Utama Tbk (SMRU).

Hendro berujar, penurunan kinerja usaha Ricobana akibat berhentinya salah satu kontrak kerja, sementara perusahaan menghadapi kewajiban keuangan yang akan jatuh tempo.

Ricobana tidak sanggup melunasi MTN yang telah jatuh tempo pada 20 Desember 2022 senilai Rp 400 miliar, saat ini mereka sedang berdiskusi dengan pemegang MTN untuk melakukan restrukturisasi atas MTN yang jatuh tempo tersebut.

Sebagai gambaran, Pefindo mencatat dari total jumlah surat utang korporasi jatuh tempo di tahun 2022 totalnya sebesar Rp 157 triliun. Sementara, di tahun 2023 akan ada sekitar Rp 126 triliun surat utang korporasi yang jatuh tempo.

Dihubungi terpisah, Ekonom Pefindo Suhindarto mengatakan, tingkat gagal bayar tahun 2022 sudah menurun jika dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 2 perusahaan, serta tahun 2020 yang mencapai 4 perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perusahaan di dalam negeri terus mengalami pemulihan pasca terpukul akibat pandemi COVID-19.

Suhindarto menuturkan, risiko gagal bayar kembali lagi pada fundamental masing-masing perusahaan. Prospek industri dan bisnis perusahaan, pada akhirnya mempengaruhi kinerja keuangan.

"Umumnya, perusahaan bisa mengalami gagal bayar karena tidak memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok," ucapnya kepada Kontan.co.id, Senin (2/1).

Dia tak memungkiri bahwa perusahaan telah menghadapi kenaikan suku bunga di tahun 2022. Kenaikan suku bunga meningkatkan leverage keuangan perusahaan. Dengan demikian, biaya utang menjadi lebih mahal. 

Baca Juga: Reksadana Berbasis Obligasi Bisa Jadi PIlihan Investasi di 2023

Namun, kenaikan tersebut dianggap relatif lebih lunak dibandingkan dengan suku bunga di negara-negara maju. Beberapa perusahaan juga menerapkan strategi front loading, dimana mereka meningkatkan penerbitan surat utang selama semester pertama 2022 untuk memanfaatkan lingkungan suku bunga rendah.

Suhindarto berharap bahwa tren pemulihan ekonomi bakal lebih baik di taun 2023. Hal tersebut seiring perekonomian domestik yang kuat karena ditopang oleh konsumsi dalam negeri yang solid.

Kenaikan harga-harga komoditas yang terjadi akibat disrupsi rantai pasok yang disebabkan oleh Perang Rusia-Ukraina juga mampu dimanfaatkan dan menjadi windfall bagi ekspor yang akhirnya mendorong pemulihan ekonomi.

Suhindarto memproyeksikan perekonomian Indonesia tidak akan resesi dan akan tumbuh di kisaran 4,9% - 5,2% di tahun 2023.

Menambahkan hal tersebut, Hendro bilang, kondisi makroekonomi yang masih menantang seperti ketidakpastian global akibat konflik Ukraina dan suku bunga yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan bayar perusahaan. 

Terlebih pada perusahaan yang kegiatan usahanya terdampak oleh kondisi makroekonomi, dan emiten yang memiliki akses pendanaan eksternal yang terbatas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi