JAKARTA. Tekanan tarhadap industri penerbangan membuat PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk melakukan diversifikasi bisnis. Penyedia jasa penerbangan pribadi ini bakal menggenjot lini bisnis jasa pelabuhan batubara (
coal terminal). "Diharapkan kontribusinya mencapai 25% terhadap pendapatan konsolidasi tahun ini," ujar Wisnhu Handoyono, Wakil Presiden Direktur Indonesia Transport & Infrastructure, (3/6). Catatan saja, tahun ini manajemen membidik pendapatan US$ 30 juta, naik 27% dibanding realisasi pendapatan tahun lalu yang sebesar US$ 23,57 juta. Dengan posisi tersebut, artinya target pendapatan dari
coal terminal tahun ini sekitar US$ 7,5 juta, naik dua setengah kali lipat dibanding tahun lalu, US$ 2,89 juta.
Sementara hingga kurtal I tahun ini pendapatan konsolidasi perseroan tercatat US$ 4,82 juta. Sebesar US$ 1,39 juta merupakan pendapatan dari bisnis
coal terminal. Wisnhu menambahkan, tahun lalu,
coal terminal yang dimilikinya di Kalimantan Timur dan Sumatera selatan hanya mampu melayani bongkar muat batubara sebesar 1 juta metrik ton (MT). "Tapi, dengan otomatisasi yang dilakukan berupa pembangunan conveyor di coal terminal Kaltim, maka kapasitasnya bertambah menjadi 3 juta MT," imbuhnya. Selain karena otomatisasi, kenikan kapasitas tersebut juga merupakan hasil dari perolehan dua kontrak kerjasama bersama dua perusahaan batubara besar. Sayang, manajemen masih enggan merinci siapa identitas kedua perusahaan tersebut. Strategi ini dilakukan bukan tanpa alasan. Sebab, core bisnis perseroan yang bergerak pada industri aviasi sedang mengalami banyak tekanan. Biaya operasional pesawat, khususnya bahan bakar saat ini tidak murah. Belum lagi, beberapa pesawat, khususnya untuk pesawat Fixed Wing yang dioperasikan rata-rata telah berusia diatas 10 tahun. Kondisi ini membuat biaya maintenance armada yang cukup tinggi. Nah, namanya core bisnis, maka tentunya perlu dilakukan strategi lain guna mempertahankan lini bisnis ini. Salah satunya adalah, dengan menjual sejumlah armada pesawat yang sudah berusia lebih dari 10 tahun. Wisnhu bilang, sudah ada satu unit helikopter lansiran tahun 1990 yang dijual. Meski enggan merinci hasil penjualannya, manajemen memastikan akan ada pesawat lain yang dijual yang usianya sudah cukup tua, berusia diatas 10 tahun. Dengan pengurangan aset tidak produktif ini, maka diharapkan efisiensi bisnis bisa tercapai.
"Soalnya, kami tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar seperti untuk maintanance, biaya asuransi, dan biaya lainnya sehingga hal ini akan menjadi lebih efisien. Efisiensi ini diharapkan dapat membuat laba bersih tahun ini kembali positif," jelas Wisnhu. Tahun lalu, perseroan mencatat rugi bersih US$ 5,17 juta. Angka ini mengecil dibanding rugi bersih tahun 2013 yang mecapai US$ 345,41 juta. Manajemen juga berencana meregenerasi pesawat baru guna menggantikan pesawat yang lama sekaligus guna meningkatkan pelayanan. "Tapi, untuk hal ini masih wacana, sesuai dengan situasi ekonomi seperti apa," pungkas Wisnhu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa