JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) penomeran kartu telepon seluler dalam RUU Konvergensi dianggap tidak ada gunanya. Pasalnya, masih belum jelas hak yang diterima oleh operator setelah membayar biaya itu ke negara. “Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dalam keterangan persnya Minggu (27/10). Apalagi, lanjut Setyanto, operator sudah mendapat banyak pungutan diluar pajak yakni, BHP Jasa Telekomunikasi (Jastel) dan Universal Service Obligation (USO). Masing-masing ditetapkan 0,5% hingga 1,25% dari pendapatan kontor bisnis operator.
Mastel: Biaya nomer kartu ponsel untuk apa?
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) penomeran kartu telepon seluler dalam RUU Konvergensi dianggap tidak ada gunanya. Pasalnya, masih belum jelas hak yang diterima oleh operator setelah membayar biaya itu ke negara. “Kalau operator membayar berarti negara punya kewajiban untuk membina, lah itu membina apa? Kalau tujuannya tidak jelas saya rasa kebijakan ini tidak pada tempatnya,” ungkap Setyanto P. Santosa, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dalam keterangan persnya Minggu (27/10). Apalagi, lanjut Setyanto, operator sudah mendapat banyak pungutan diluar pajak yakni, BHP Jasa Telekomunikasi (Jastel) dan Universal Service Obligation (USO). Masing-masing ditetapkan 0,5% hingga 1,25% dari pendapatan kontor bisnis operator.