KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Adaptasi ke dunia digital sudah dirasakan dua UMKM kuliner binaan Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) yaitu Madu Kelulud Sahabat dan Gula Semut La'ang Balangan di Kalimantan Selatan. Dua UMKM kuliner tersebut mengalami kenaikan omzet usai masuki pemasaran online. Khair Riftia, pemilik usaha Madu Kelulud Sahabat menyebut, sebelum merambah penjualan digital omzet per bulannya berkisar Rp 7 juta. Kini dengan jangkauan pasar lebih luas lewat online Khair mampu mengantongi omzet Rp 10 hingga Rp 20 juta per bulan. Terlebih lagi produknya juga cukup diminati konsumen di masa pandemi untuk menjaga daya tahan tubuh. Satu liter madu Kelulud dibanderol Rp 300.000.
"Penjualan di sekitar Balangan, Tagalong ada ke Jakarta, Bandung paling jauh itu Aceh sama Sorong. Kita pakai marketplace buat pemasaran," kata Khair dalam Jelajah Virtual UMKM binaan YDBA pada Jumat (22/1). Kini Khair memiliki 150 koloni lebah kelulud atau klanceng yang ada di lahan 800 meter persegi. Awalnya Khair hanya memiliki 20 koloni pada awal budidaya di 2017. Adapun satu koloni mampu menghasilkan 1 - 1,5 liter madu kelulud dalam setahun. Saat ini Khair menyebut, stok madunya mulai menipis, sedangkan permintaan konsumen terus berdatangan.
Baca Juga: Alokasi dana PEN belum dongkrak kredit, begini kata bankir Usaha lainnya ialah, Gula Semut La'ang Balangan milik Rinawati. Sama seperti Khair sejak masuki pasar online omzet usahnya meningkat dari Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta perbulan. Rina memulai usaha pada tahun 2013 dengan produk gula aren cetak, lantaran produksi melimpah membuat harga gula aren saat itu alami penurunan. Tak tinggal diam, Rina menginovasikan gula aren cetak menjadi gula semut yang berhasil meningkatkan harga jual dan permintaan pasar. Selain itu Rina juga berinovasi dengan membuat enam varian rasa gula semut diantaranya, gula semut original, gula semut jahe, gula semut kunyit sirih, gula semut kunyit jeruk nipis, gula semut temu lawak, dan gula semut kunyit asam. "Kebetulan pandemi diutamakan jaga stamina daya tahan. Gula aren jadi makanan yang bisa jaga daya tahan, lalu ada varian jahe tadi terus pasak bumi jadi konsumen banyak cari," kata Rina. Selain lewat marketplace, Rina masih memasarkan produknya di tempat oleh-oleh dan beberapa reseller. Namun kini diakui pemasaran digital lebih diutamakan untuk penjualan gula semut buatannya. Satu produk gula semua dibanderol Rp 15.000 hingga Rp 30.000. Gula semut buatan Rina sudah menjangkau Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Yogyakarta dan Jakarta. "Ke depan ingin dikembangkan kami sedang usulkan BPOM untuk izin edar (MD). kami akan coba pasar ekspor juga, kami juga inovasikan hasil alam kombinasi pasak bumi dan jahe tapi masih kami periksa ke BPOM," ujarnya. Rina dan Khair menceritakan adaptasi ke pasar online yang dilakukan jadi satu bentuk pembinaan yang dilakukan YDBA. Keduanya mendapatkan pembinaan berupa pelatihan, brading, strategi pemasaran digital, dan packaging.
Bendahara Pengurus YDBA, Handoko Pranoto menambahkan pihaknya juga membantu mengenalkan UMKM binaannya melalui sosial media YDBA ke publik. Saat ini UMKM kuliner yang dibina YDBA ada sekitar 890 atau 20% dari total UMKM binaan.
"Transformasi ke digital ini masih jadi PR kita, bagaimana kita dorong temen dari UKM binaan kita buat transformasi karena perlu persiapan baik teknologi maupun produk," kata Handoko. Selama pandemi YDBA juga bertransformasi dengan menggelar pelatihan secara online. Tampilan packaging dan branding dari produk menjadi hal pertama yang dilakukan UMKM binaan YDBA sebelum masuk ke pasar online. "Pembinaan awal gimana cara kemas produknya, desain biar menarik baru kita kenalkan pemasaran lewat online. Ini masih jadi PR banyak kami harapkan makin banyak yang transformasi digital ke depan UKM binaan kita," harap Handoko. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi