Masuk Usia 45 Tahun, Pasar Saham Indonesia Masih Menjadi Pilihan Investasi Menarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di usia yang telah mencapai 45 tahun, pasar modal Indonesia diisi oleh ratusan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sampai dengan saat, BEI telah berhasil mencatatkan lebih dari 800 perusahaan.

Berdasarkan data yang diolah Kontan.co.id, sejak 2018 sampai dengan 10 Agustus 2022 (lima tahun terakhir), terdapat 259 emiten baru yang tercatat di BEI. Ada saham yang menorehkan kenaikan harga ratusan hingga ribuan persen dibanding harga initial public offering (IPO).

Contohnya adalah PT WIR ASIA Tbk (WIRG), PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG), PT Sumber Tani Agung Resources Tbk (STAA), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS).


Di sisi lain, ada juga IPO dengan nilai emisi jumbo tapi sahamnya turun. Sebut saja PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL). Dari 259 emiten yang tercatat dalam kurun waktu lima tahun tersebut, sebanyak 27 saham tergolong saham gocap alias  bertengger di harga Rp 50 per saham.

Baca Juga: Ramainya IPO Turut Mendorong Kenaikan Market Cap BEI

Meskipun begitu, Senior Investment Analyst Stockbit Anggaraksa Arismunandar menilai, bursa saham Indonesia masih menjadi pilihan investasi yang menarik. Hal ini terlihat dari imbal hasil (return) tahunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang secara jangka panjang berada di sekitar 15% per tahun.

Meski beberapa kali menghadapi krisis, setiap fase koreksi di IHSG juga selalu diikuti oleh fase bullish atau rally yang membentuk level all-time high baru. "Jumlah emiten, investor, dan market cap yang secara beriringan terus bertumbuh juga menjadi indikator bagus," kata Anggaraksa kepada Kontan.co.id, Senin (15/8).

Terkait dengan kinerja saham setelah IPO, menurut Anggaraksa, setiap saham memang akan memiliki perjalanan berbeda ketika berlanjut ke pasar sekunder. Di masa-masa awal tercatat, wajar apabila pergerakan suatu saham masih cukup fluktuatif.

Namun, dalam jangka panjang, ada beberapa faktor yang bisa memengaruhi harga saham di pasar sekunder. Mulai dari kinerja emiten, murah atau mahalnya valuasi saham, prospek industri yang terkait dengan emiten, serta tinggi rendahnya minat investor.

Baca Juga: Kapitalisasi Pasar BEI Capai Rp 9.334 Triliun

Analis Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus juga berpendapat, bursa saham Indonesia merupakan tempat investasi yang menarik. Salah satunya dapat terlihat dari return IHSG yang mencapai 8,1% secara year to date (ytd). Pasar saham Indonesia juga menyediakan banyak saham yang menarik dan likuid.

Terkait dengan adanya saham-saham berkapitalisasi pasar besar yang mencatatkan penurunan harga, Daniel menilai hal tersebut lebih dipengaruhi oleh sentimen fundamental. Contohnya adalah GOTO dan BUKA yang tertekan akibat kenaikan suku bunga yang dapat membebani kinerja perusahaan.

Sebaliknya, Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menilai, emiten-emiten baru yang mencatatkan kenaikan harga ratusan hingga ribuan persen didorong oleh sentimen positif yang menghiasi sektor yang bersangkutan. Misalnya ADMR mendapat katalis dari kuatnya harga komoditas batubara sejak tahun 2021.

Kemudian, STAA dan TAPG juga terdongkrak oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO). ARKO juga baru saja masuk ke ekosistem grup Astra melalui United Tractors, dengan bisnis energi terbarukan yang dianggap cukup prospektif di masa mendatang. "Di samping itu, optimisme dari para investor dan kinerja yang bagus juga menjadi pertimbangan," ucap Pandhu.

Baca Juga: Adu Cuan Obligasi Merdeka Copper, Sinar Mas Multiartha, dan Astra Sedaya Finance

Likuiditas jadi faktor penting

Pasar saham Indonesia juga menjadi tempat investasi yang menarik karena BEI menyediakan berbagai indeks yang bisa menjadi acuan bagi investor dalam memilih suatu saham, seperti LQ45 dan Kompas100. Likuiditas saham sering kali menjadi faktor penting dalam menentukan konstituen indeks ini.

Menurut Anggaraksa, berbagai indeks acuan umumnya memiliki syarat minimum transaksi (nilai, volume, frekuensi) untuk menentukan anggotanya. Dalam berinvestasi, likuiditas menjadi salah satu hal yang perlu dijadikan pertimbangan dalam memilih saham, tidak hanya bagi trader namun juga investor.

"Hal ini untuk menghindari risiko kesulitan melakukan divestasi di kemudian hari karena tidak adanya permintaan atas saham tersebut," tutur Anggaraksa.

Baca Juga: Emiten Grup Sinar Mas Terpoles Aksi Korporasi, Mana yang Menarik Dikoleksi?

Daniel menambahkan, apabila saham tersebut tidak likuid, ada baiknya investor menghindarinya dan mencari saham lain yang lebih likuid. Dengan begitu, ketika sewaktu-waktu investor membutuhkan dana, saham tersebut bisa dijual.

Untuk berinvestasi, investor juga harus mengenal emiten dan  fundamental bisnisnya. Selain itu, investor juga perlu mempertimbangkan time frame berinvestasi. "Semakin lama time frame-nya, investor bisa mempertimbangkan untuk berinvestasi di saham-saham bluechip yang kinerjanya stabil," kata Daniel.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BEI diharapkan mampu menerapkan tata kelola yang baik serta meningkatkan kebijakan dalam hal upaya perlindungan konsumen serta meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati