Mata Uang Asia Diperkirakan Volatile Hingga Akhir Tahun 2024



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Mata uang Asia diperkirakan bakal volatile hingga akhir tahun ini. Faktor suku bunga bank sentral global menjadi perhatian pasar.

Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong memandang bahwa pergerakan nilai tukar di periode kuartal empat tahun ini akan sulit diprediksi karena pasar diperkirakan volatile. Hal itu karena kondisi pasar dipengaruhi dinamika suku bunga bank sentral global dan juga situasi perang di Timur Tengah.

Lukman menuturkan, walau The Fed hanya akan memangkas sedikit suku bunga acuan hingga akhir tahun ini, sentimen itu tetap positif bagi mata uang Asia. Begitu pula dengan potensi pemangkasan suku bunga bank sentral global lainnya.


Namun, situasi di Timur Tengah maupun di Ukraina yang masih susah diprediksi dan besar kemungkinan tensi masih akan terus meningkat, hal ini akan membebani mata uang berisiko. Dolar AS biasanya menjadi pilihan sebagai lindung nilai (safe haven) di tengah kondisi ketidakpastian.

Baca Juga: Arah Suku Bunga Fed Berpotensi Hawkish, Begini Prospek Mata Uang Asia di Kuartal IV

Selain itu, Lukman menyoroti bahwa Pilpres AS yang kemungkinan dimenangkan oleh Donald Trump berpotensi menguatkan dolar AS. Proyeksi tersebut karena menilai kebijakan Trump agresif dalam tarif dan pajak dikhawatirkan akan mudah kembali memicu kenaikan pada inflasi, yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada kebijakan suku bunga Fed.

"Kemenangan Trump dianggap akan menguatkan dolar AS," ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Senin (21/10).

Dengan ketidakpastian ini, Lukman melihat bahwa sewajarnya dolar Singapura (SGD) akan menjadi safe haven bagi investor. Namun perlu diantisipasi kebijakan bank sentral Singapura (MAS) yang menggunakan nilai tukar mata uang sebagai alat untuk menjaga inflasi, sehingga penguatan SGD mungkin tidak akan besar bila inflasi di Singapura rendah.

Chinese Yuan (CNY) mungkin juga bakal tertekan ke depannya karena mengingat China lebih memprioritaskan kebijakan mata uang stabil dan kemampuan mengatur nilai tukar.

Baca Juga: Rupiah Dibayangi Kekhawatiran Ekonomi Global, Intip Proyeksi Untuk Selasa (22/10)

Sementara itu, dengan asumsi Trump menang pemilu AS, maka mungkin Won Korea (KRW) dan Japanese Yen (JPY) dapat menguat. Hal itu mengingat kedua mata uang berpotensi diuntungkan oleh kebijakan perang dagang Trump yang lebih membidik China.

"Sangat susah diprediksi dengan berbagai faktor-faktor tersebut. Namun apabila faktor Trump dan Timteng diabaikan yang artinya Harris menang dan konflik Timteng damai, maka investasi valas Asia yang bagus mungkin MYR, THB dan IDR," sebut Lukman.

Lukman memaparkan, Ringgit Malaysia (MYR) dan Baht Thailand (BHT) paling bersinar di kawasan Asia Tenggara di sepanjang tahun ini terhadap dolar AS. Sementara mata uang lainnya berimbang, dengan Peso Filipina mencatatkan rekor terburuk.

Dari Asia, Won Korea (KRW) dan Dolar Taiwan terburuk di sepanjang tahun. Sementara, JPY yang sempat rebound, kembali minus tahun ini. Namun, kalau bank of Japan (BoJ) tidak mengikuti Perdana Menteri dan melakukan pengetatan kebijakan moneter, maka JPY bisa kembali menguat.

Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat Tipis 0,006% ke Rp 15.465 Per Dolar AS Pada Senin (21/10)

"Yen Jepang yang sebelumnya diharapkan akan bisa menguat, keadaannya berubah setelah PM Jepang baru memberikan pernyataan dovish pada suku bunga," imbuh Lukman.

Mengutip Trading Economics, Senin (21/10) pukul 17.40 WIB, mayoritas mata uang Asia melemah terhadap dolar AS dalam sepekan. Japanese Yen melemah sekitar 0,19%, Chinese Yuan melemah 0,46%, Won Korea melemah 1,63%, serta dolar Singapura terpantau melemah sekitar 0,38% dalam sepekan.

Rupiah masih cukup positif dengan penguatan 0,53% dalam sepekan, namun melemah 0,23% secara harian. Sementara itu, indeks dolar yang mencerminkan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama dunia berada di 103,64, naik dari akhir pekan lalu yang ada di 103,49.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati