Mata Uang Asia Menguat, Investor Mulai Lirik Investasi di Emerging Market



JAKARTA. Rupanya, kekhawatiran investor asing terhadap prospek berinvestasi di negara-negara emerging market, khususnya di Asia, sudah mulai berkurang. Lihat saja, kemarin mata uang negara-negara di kawasan Asia kembali menguat.

Penguatan tersebut merupakan dampak dari pemaparan Barack Obama tentang konsep pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang akan ia jalankan nanti. Hal tersebut mendorong investor asing kembali membeli instrumen investasi di negara-negara Asia. "Saat ini keberanian investor untuk mengambil risiko sudah mulai pulih," tandas Hideki Hayashi, Kepala Ekonom Shinko Securities, seperti dikutip Bloomberg.

Kecenderungan kembalinya investor asing ke pasar modal Asia sudah mulai tampak di awal minggu ini. Kenaikan indeks saham global di akhir pekan lalu membuat investor kembali mengatur portofolio investasinya. "Penguatan saham regional itu menjadi sentimen yang positif bagi mata uang negara-negara Asia," kata Rachmat Wibisono, Dealer Valuta Asing BRI, kemarin (9/12).


Kemarin, sampai pukul 18.00 WIB, ringgit Malaysia naik ke posisi RM 3,6147 per dolar AS. Akhir pekan lalu, ringgit ditutup di posisi RM 3,6350 per dolar AS. Jadi, nilai tukar ringgit naik sekitar 0,56%.

Rupiah lebih dahsyat lagi. Pada waktu yang sama, rupiah melompat hingga mencapai Rp 10.920 per dolar AS. Bahkan, rupiah sempat mencapai Rp 10.881 per dolar AS. Artinya, jika membandingkannya dengan harga penutupan hari Selasa lalu (9/12) di Rp 11.650, rupiah sempat menguat sekitar 6,6%.

Rachmat bilang, untuk jangka panjang, mata uang Asia masih berpotensi terus naik. Pulihnya perekonomian berbagai negara di dunia, termasuk AS, jadi faktor utama pemicu kenaikan itu.

Menunggu bunga Fed

Tapi, investor tetap harus berhati-hati. Maklum saja, sentimen negatif dan positif di pasar masih saling beradu. Pasar masih menunggu hasil program stimulus ekonomi yang dilontarkan Obama. Selain itu, pasar juga berharap bail out industri otomotif di AS akan mendorong industri tersebut tumbuh. "Kalau ekonomi Amerika pulih, hal itu akan menjalar ke negara lain, karena sumber masalahnya saat ini di Amerika," jelas Rachmat.

Sebagian pelaku pasar saat ini juga lebih suka mengambil posisi wait and see. Sebab, pasar juga masih menunggu hasil pertemuan para petinggi Federal Reserve (Fed), dan melihat apakah bank sentral AS ini masih akan memangkas suku bunga acuannya. "Fed masih punya ruang untuk memotong Fed rate," imbuh Rachmat.

Namun, Joseph Tan, Kepala Ekonom Credit Suisse Group Singapura melihat penguatan mata uang Asia ini hanya berlangsung sesaat. "Tahun depan, kita akan melihat dolar kembali dengan kekuatan penuh," ucapnya kepada Bloomberg.

Menurut Joseph, kondisi ekonomi dunia masih bisa lebih buruk lagi dari saat ini. Pengurangan karyawan masih terjadi di banyak negara, bahkan beberapa negara merevisi angka pertumbuhan mereka. Selain itu, data-data ekonomi yang terbit belakangan ini masih memaparkan buruknya ekonomi.

Joseph mencontohkan data ekonomi Jepang. Kemarin, Jepang mengumumkan produk domestik bruto (PDB) alias gross domestic product (GDP) negara matahari terbit itu turun 0,5% pada kuartal III. Ini melampaui perkiraan para analis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Didi Rhoseno Ardi