Mata Uang Komoditas Dianggap Jadi Pilihan Menarik di Tengah Situasi Saat Ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Departemen Tenaga Kerja AS pekan lalu melaporkan inflasi Amerika Serikat (AS) berdasarkan Consumer Price Index (CPI) di bulan Februari melesat 7,9% secara year on year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,5%. 

Angka inflasi tersebut merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Tak hanya itu, pasca pengumuman tersebut, indeks dolar AS pun melesat dari 97,86 menjadi 99,12.

Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan, dengan tingginya inflasi tersebut maka akan semakin mendukung The Fed untuk mempercepat pengetatan moneter. Pada akhirnya hal ini bisa mengangkat yield obligasi AS, sekaligus jadi sentimen positif buat dolar AS. 


“Namun, pasar sepertinya sudah priced in mengenai kenaikan suku bunga ini, dan Gubernur The Fed Jerome Powell sendiri sudah menegaskan bahwa dia hanya akan mendukung kenaikan suku bunga sebesar 25 bps,” jelas Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (12/3).

Baca Juga: Inflasi Amerika Serikat Naik Tinggi, Dolar AS Dinilai Jadi Pilihan Menarik

Namun di satu sisi, dengan krisis Rusia-Ukraina saat ini, Alwi melihat kemungkinan The Fed tidak akan menaikkan suku bunga secara agresif, seperti yang sebelumnya diperkirakan pasar. Meski begitu, dolar AS mungkin diuntungkan oleh perannya sebagai safe haven di tengah ketidakpastian terkait perang Ukraina ini. 

Pasalnya, seiring AS dan negara barat lainnya mengenakan sanksi terhadap Rusia, maka Rusia akan membalas hal tersebut. Hal ini akan memunculkan kekhawatiran mengenai perang dagang lainnya. Sementara di sisi lain, perang dagang AS dengan China juga masih belum sepenuhnya selesai.

Alwi sendiri melihat, selain dolar AS yang diuntungkan sebagai safe haven, mata uang lain yang berpotensi menjanjikan keuntungan lebih prospektif adalah mata uang komoditas. Maklum, krisis Ukraina-Rusia telah mengangkat harga komoditas di tengah kekhawatiran pasokan. 

Menurut dia, beberapa mata uang yang menarik untuk dikoleksi adalah dolar Kanada (loonie), dolar Australia (ausie), dan dolar Selandia Baru (kiwi). Seperti yang diketahui, harga minyak dunia dan batubara tengah melambung tinggi sehingga secara tidak langsung akan ikut menguntungkan nilai tukar ketiga mata uang tersebut.

“Selain diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas, prospek kebijakan moneter yang lebih ketat, terutama di bank sentral Kanada (BoC) dan bank sentral Selandia Baru (RBNZ) juga mendukung mata uang tersebut,” imbuh Alwi.

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Stabil Sepekan Ke Depan meski The Fed Menaikkan Suku Bunga

Ia pun memproyeksikan paring USD/CAD, AUD/USD dan NZD/CAD, pada akhir tahun ini berpotensi bergerak ke masing-masing 1,1903; 0,85; dan 0,774.

Sementara bagi para trader jangka pendek, menurut Alwi pairing EUR/USD bisa dipilih dengan strategi jual. Pasalnya, prospek kebijakan moneter bank sentral Eropa (ECB) sejauh ini masih lebih dovish ketimbang The Fed. 

“Selain itu, prospek kenaikan harga energi masih membebani zona euro, karena negara zona euro merupakan net importir energi dan minyak,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi