Mata Uang Rupiah Terancam Laju Penurunan Suku Bunga AS yang Lambat di Tahun Depan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Mata uang rupiah dibayang-bayangi kekhawatiran suku bunga tinggi Federal Reserve (The Fed). Sikap bank sentral Amerika Serikat (AS) yang belum melunak berpotensi menekan pasar nilai tukar di tahun depan.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, rupiah kini telah mencapai level Rp 16.100 terhadap dolar AS menjelang pertemuan The Fed Rabu (18/12). Pergerakan signifikan ini menunjukkan bahwa pelaku pasar sedang memantau dengan saksama potensi keputusan Fed, khususnya mengenai suku bunga dan kebijakan moneter.

"Jika Fed memberi sinyal sikap yang lebih agresif, seperti menaikkan suku bunga atau mempertahankannya pada level yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lama, hal ini dapat menyebabkan dolar AS yang lebih kuat. Dengan demikian, kondisi itu memberi tekanan pada mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah," ungkap Nanang kepada Kontan.co.id, Rabu (18/12).


Nanang menilai, tekanan tersebut sudah terlihat dari kemungkinan The Fed memangkas suku bunga 0,25% sebagai keputusan paling ideal di tengah membaiknya angka tenaga kerja AS dan laju inflasi yang kembali merangkak naik. Terlebih lagi, The Fed diekspektasikan pelaku pasar masih akan mempertahankan suku bunga pada awal tahun 2025.

Baca Juga: Rupiah Bisa Sentuh Level Rp 16.400 per dolar AS pada 2025, Ini Pemicunya

Kekhawatiran suku bunga Fed bertahan tinggi itu akan berefek pada arus modal global, inflasi, dan kondisi ekonomi. Di lain sisi, rupiah juga berpotensi terancam oleh faktor ekonomi yang lebih luas di Indonesia sendiri, termasuk inflasi, neraca perdagangan, dan arus investasi.

Merespons kondisi tersebut, Bank Indonesia (BI) pun memilih untuk tidak mengubah suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) pada Desember 2024. BI Rate sebesar 6%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5.25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6.75%.

Keputusan Bank Indonesia membuat suku bunga acuan ditahan di 6% selama 3 bulan terakhir. BI mempertahankan BI Rate dalam Rapat Oktober, November, dan Desember.

Analis Doo Financial Futures Lukman Leong memandang, Bank Indonesia (BI) mau tidak mau memang mesti mempertahankan suku bunga, malah mungkin perlu mengerek suku bunga apabila nilai tukar semakin tertekan. Akan tetapi, bila pelemahan masih gradual dan wajar, maka tidak perlu mempertahankan level suku bunga tinggi.

Baca Juga: Menantikan Hasil FOMC The Fed, Begini Prediksi Rupiah untuk Kamis (19/12)

"Saya melihat apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah cukup benar. Apabila langkah yang lebih drastis dan menjurus ke kontrol devisa, khawatirnya justru akan semakin memberikan sentimen buruk terhadap investor," imbuh Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (18/12).

Lukman menyebutkan, prospek pemangkasan suku bunga the Fed yang lebih lambat, ditambah kekhawatiran seputar kebijakan Trump terutama pada tarif menjadi risiko negatif bagi rupiah. Faktor lain yang membebani rupiah adalah pelemahan ekonomi di China dan Indonesia.

Sentimen dari domestik masih lemah yang terlihat dari daya beli masyarakat menurun, defisit transaksi berjalan selama 6 kuartal beruntun, serta cadangan devisa yang tergerus. Belum lagi, kebijakan PPN 12% di tahun depan yang berpotensi mengancam lesunya perekonomian.

Kendati demikian, Lukman berujar, perlu diingat bahwa bukan hanya rupiah saja yang melemah terhadap dolar AS, namun hampir semua mata uang dunia. Ini artinya rupiah mengikuti pelemahan global dan mungkin masih lebih baik daripada mata uang lain di hadapan dolar.

Baca Juga: Prediksi IHSG Esok (19/12) Setelah Turun 0,7% ke 7.107 Hari Ini (18/12)

"Tahun depan, rata-rata mata uang dunia diperkirakan masih akan melemah berkisar 5%-10% terhadap dolar AS, sehingga saya melihat apabila rupiah bisa bertahan di bawah Rp 17.000 per dolar AS, sudah merupakan suatu prestasi. Namun, nilai tukar tidaklah absolut dan akan disesuaikan seiring perkembangan terbaru," tutur Lukman.

Dengan berbagai faktor negatif tersebut, Lukman memproyeksi bahwa rupiah di tahun depan akan melemah ke kisaran Rp 16.800 per dolar AS–Rp 17.350 per dolar AS, dengan rata-rata di level Rp 17.000 per dolar AS.

Nanang turut melihat rupiah cukup sulit menguat di tahun depan karena efek potensi penguatan dolar AS. Level di bawah Rp 15.000 per dolar AS akan sulit dicapai, sehingga kemungkinan rupiah berada di level Rp 15.200 per dolar AS–Rp 16.400 per dolar AS.

Selanjutnya: Insentif Pajak Menyasar Mobil Hybrid, BYD Buka Opsi Luncurkan Model PHEV di Indonesia

Menarik Dibaca: Prakiran Cuaca Jakarta Besok (19/12), Ini Daerah yang bakal Diguyur Hujan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati