JAKARTA. Imbal hasil obligasi Indonesia mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Berdasarkan data Asian Bonds Online per 23 Juli 2013, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia untuk tenor 10 tahun secara year-to-date sebesar 265,6 basis points (bps) menjadi 7,84% per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan imbal hasil obligasi Hongkong sebesar 156 bps, Singapura 110 bps dan Vietnam 105 bps. Analis Obligasi Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengungkapkan, kenaikan yield surat utang negara (SUN) pasti berdampak terhadap kenaikan yield surat utang atau obligasi korporasi. Sebab, yield obligasi korporasi menggunakan acuan yield obligasi pemerintah, ditambah penilaian lembaga pemeringkat. Selain itu, kenaikan BI rate yang mempengaruhi besaran inflasi juga selalu dibilang berdampak buruk ke obligasi. "Dalam jangka pendek, sepertinya yield masih akan tinggi, karena tren naik masih berlanjut. Faktor negatif seperti lemahnya nilai tukar rupiah, inflasi dan pengaruh ekonomi global turut mempengaruhi," kata Edbert. Herdi Ranu Wibowo, analis Obligasi BCA Sekuritas bilang, meski yield obligasi korporat mengikuti trend yield obligasi pemerintah, namun kenaikannya tidak linier. Herdi mencontohkan, jika obligasi pemerintah naik 1%, maka obligasi korporasi mungkin hanya naik sekitar 0,50%-0,75%. Hal ini karena faktor likuiditas SUN dengan obligasi korporasi berbeda. "SUN didominasi asing, sehingga sekali mereka keluar sangat cepat melakukan aksi sell off, maka yield dengan cepat naik. Sementara obligasi korporasi tidak demikian. Jadi sedikit ketinggalan," kata Herdi. Pemerintah harus jaga rupiah Untuk jangka panjang, kata Edbert, sebenarnya potensi rebound obligasi masih terbuka. Hal ini karena saat ini Bank Indonesia sudah mengambil langkah preventif untuk menjaga rupiah. "Apabila BI lebih bisa menjaga nilai tukar dengan baik di kisaran Rp 9.000-an, maka rebound pasar obligasi bisa lebih cepat terjadi. Tapi jika kisaran nilai tukar rupiah seperti sekarang, tentu tidak baik karena pasar juga tidak akan merespons. Dalam kondisi sekarang ini Herdi merekomendasikan investor untuk memilih corporate bond selain sektor multifinance. Sebab, sektor multifinance kinerjanya rentan dengan kenaikan suku bunga. "Kecuali multifinance dengan rating minimal AA. Selain rating, investor juga harus memperhatikan tenor dan yield dalam kondisi seperti ini. Yang bisa dikoleksi obligasi dengan tenor maksimal tiga tahun," kata Herdi. Herdi juga menyarankan investor untuk memilih obligasi korporasi sektor consumer goods. Untuk yang telah memiliki obligasi korporasi, Herdi menyarankan hold dalam kondisi seperti ini. "Untuk yang baru mau membeli, sebaiknya memilih obligasi pemerintah karena yield SUN tinggi saat ini," ucap Herdi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mau beli obligasi korporasi? Simak tipsnya
JAKARTA. Imbal hasil obligasi Indonesia mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Berdasarkan data Asian Bonds Online per 23 Juli 2013, kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia untuk tenor 10 tahun secara year-to-date sebesar 265,6 basis points (bps) menjadi 7,84% per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan imbal hasil obligasi Hongkong sebesar 156 bps, Singapura 110 bps dan Vietnam 105 bps. Analis Obligasi Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengungkapkan, kenaikan yield surat utang negara (SUN) pasti berdampak terhadap kenaikan yield surat utang atau obligasi korporasi. Sebab, yield obligasi korporasi menggunakan acuan yield obligasi pemerintah, ditambah penilaian lembaga pemeringkat. Selain itu, kenaikan BI rate yang mempengaruhi besaran inflasi juga selalu dibilang berdampak buruk ke obligasi. "Dalam jangka pendek, sepertinya yield masih akan tinggi, karena tren naik masih berlanjut. Faktor negatif seperti lemahnya nilai tukar rupiah, inflasi dan pengaruh ekonomi global turut mempengaruhi," kata Edbert. Herdi Ranu Wibowo, analis Obligasi BCA Sekuritas bilang, meski yield obligasi korporat mengikuti trend yield obligasi pemerintah, namun kenaikannya tidak linier. Herdi mencontohkan, jika obligasi pemerintah naik 1%, maka obligasi korporasi mungkin hanya naik sekitar 0,50%-0,75%. Hal ini karena faktor likuiditas SUN dengan obligasi korporasi berbeda. "SUN didominasi asing, sehingga sekali mereka keluar sangat cepat melakukan aksi sell off, maka yield dengan cepat naik. Sementara obligasi korporasi tidak demikian. Jadi sedikit ketinggalan," kata Herdi. Pemerintah harus jaga rupiah Untuk jangka panjang, kata Edbert, sebenarnya potensi rebound obligasi masih terbuka. Hal ini karena saat ini Bank Indonesia sudah mengambil langkah preventif untuk menjaga rupiah. "Apabila BI lebih bisa menjaga nilai tukar dengan baik di kisaran Rp 9.000-an, maka rebound pasar obligasi bisa lebih cepat terjadi. Tapi jika kisaran nilai tukar rupiah seperti sekarang, tentu tidak baik karena pasar juga tidak akan merespons. Dalam kondisi sekarang ini Herdi merekomendasikan investor untuk memilih corporate bond selain sektor multifinance. Sebab, sektor multifinance kinerjanya rentan dengan kenaikan suku bunga. "Kecuali multifinance dengan rating minimal AA. Selain rating, investor juga harus memperhatikan tenor dan yield dalam kondisi seperti ini. Yang bisa dikoleksi obligasi dengan tenor maksimal tiga tahun," kata Herdi. Herdi juga menyarankan investor untuk memilih obligasi korporasi sektor consumer goods. Untuk yang telah memiliki obligasi korporasi, Herdi menyarankan hold dalam kondisi seperti ini. "Untuk yang baru mau membeli, sebaiknya memilih obligasi pemerintah karena yield SUN tinggi saat ini," ucap Herdi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News