JAKARTA. PT Timah (Persero) Tbk (TINS) yakin harga komoditas timah bisa menyentuh level harga US$ 30.000 per metrik ton. Dengan proyeksi level harga tersebut, maka emiten pelat merah itu optimistis mampu menorehkan penjualan sebesar Rp 9 triliun. Lantas, hal apa yang mendasari optimisme itu? Jawabannya sederhana. Pertumbuhan penduduk dan naiknya kebutuhan gadget menjadi kombinasi sempurna untuk menjadi dasar optimisme TINS. "Sekarang saja, dalam satu rumah, bapak ibu anak minimal pegang satu ponsel," imbuh Sukrisno, Direktur Utama TINS. Itu baru merupakan gambaran berdasarkan tren di Indonesia, belum termasuk permintaan gadget di luar negeri yang juga bakal meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan mencapai 3,6%. Bandingkan dengan proyeksi ekonomi dunia pada tahun ini yang berada di level 2,9 persen.
Dalam kondisi global seperti saat ini, permintaan timah untuk komponen gadget tetap tinggi. Hal ini bisa dilihat dari produksi timah TINS sepanjang tahun ini yang mencapai 25.000 metrik ton dan sekitar 57% -nya dijadikan tin solder untuk komponen gadget. Sementara, sisanya, sekitar 22% dijadikan kaleng minuman, 16%dijadikan tin chemical untuk bahan pembuatan pipa PVC dan 5% dijadikan produk turunan lain. Sebenarnya, tin solder digunakan untuk membuat sirkuit impuls elektrik di sebidang silikon motherboard gadget bisa disubstitusikan dengan perak atau bahkan emas. "Tapi, enggak mungkinkan, produsen gadget memakai emas dalam sebuah ponsel?" tambah Sukrisno. Ini sekadar gambaran dari sisi permintaan. Optimisme TINS kian menguat seiring dengan pemberlakuan beleid pemerintah dengan nomor surat Peraturan Menteri Perdagangan No. 32/M-DAG/PER/6/2013. Pengaplikasian dari peraturan ini adalah, komoditas timah wajib diperdagangkan melalui Indonesia Commodity and Derivatives Exchange. Peraturan juga bisa meminimalisir ekspor logam timah yang menyalahi aturan (berasal dari tambang timah ilegal) bisa diminimalisir. Pasalnya, logam timah yang diekspor harus memiliki kadar Sn diatas 99,9% dengan Pb dibawah 300 PPM. Implikasinya, produksi timah nasional menurun drastis lantaran banyak pihak yang tidak mampu memenuhi kualifikasi tersebut, sehingga suplai timah menjadi semakin terbatas yang pada akhirnya juga mengerek naik harga logam timah.