Mayoritas Harga Logam Dasar Naik di Tengah Harapan Pemotongan Suku Bunga AS



KONTAN.CO.ID - Sebagian besar logam non-ferrous naik pada hari Senin (16/9), didorong oleh pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) di tengah ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed minggu ini.

Melansir Reuters, harga aluminium tiga bulan di London Metal Exchange (LME) naik 0,9% menjadi US$2.492 per ton pada pukul 08:04 GMT.

Sebelumnya, kontrak ini mencapai level tertinggi sejak 28 Agustus di US$2.506,50.


Baca Juga: Harga Komoditas Terangkat Pidato Vladimir Putin

Volume perdagangan tetap rendah karena pasar di China ditutup hingga Rabu untuk liburan umum.

Perdagangan di kontrak berjangka suku bunga menunjukkan bahwa The Fed hampir kemungkinan akan melakukan pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin daripada pemotongan biasa sebesar 25 basis poin, dengan pasar keuangan memperkirakan peluang yang lebih besar bahwa The Fed akan bertindak lebih agresif.

Pemotongan suku bunga akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan permintaan fisik untuk logam, serta memberi tekanan pada dolar.

Seorang pedagang logam mengatakan bahwa harga dipengaruhi oleh dolar AS, yang ketika melemah membuat logam yang dihargai dalam dolar lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.

"Dolar AS terus melemah saat kita semakin mendekati pertemuan The Fed," kata pedagang tersebut.

Baca Juga: Harga Tembaga, Aluminium, dan Seng Sentuh Level Tertinggi 2 Minggu karena Dolar Loyo

Indeks dolar turun mendekati level terendah sejak 5 September.

Harga seng di LME sempat naik 0,9% menjadi US$2.930, level tertinggi sejak 30 Agustus, namun kemudian berbalik turun 0,1% menjadi US$2.901.

Sementara itu, timbal naik 0,1% menjadi US$2.044,50, timah naik 0,2% menjadi US$31.870, dan nikel naik 0,6% menjadi US$16.040.

Data akhir pekan menunjukkan pertumbuhan output industri di konsumen logam terbesar dunia, China, melambat ke level terendah dalam lima bulan pada Agustus. Sementara penjualan ritel dan harga rumah baru semakin melemah.

Tembaga di LME turun 0,7% menjadi US$9.246,50 per ton.

Data ekonomi China yang lemah ini, bagaimanapun, memperkuat alasan untuk stimulus agresif guna mendukung ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, dan membantu negara itu mencapai target pertumbuhan tahunan yang didorong oleh Presiden Xi Jinping.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto