JAKARTA. Bisa jadi inilah alasan pemerintah ngotot ingin mengambil alih pengelolaan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Soalnya, kebutuhan bahan baku aluminium terus naik dan harus dipenuhi dari impor. Effendi Sirait, Ketua Otorita Asahan memprediksi, kebutuhan aluminium lokal tahun ini mencapai 300.000 ton, naik 20% dari tahun lalu. "Jumlah ini sesuai dengan rata-rata permintaan aluminium per tahun yang sebesar 20%," katanya kepada KONTAN, akhir pekan lalu. Dari total kebutuhan sebesar itu, pasokan lokal hanya akan tersedia 100.000 ton. Alhasil, Indonesia harus mengimpor 200.000 ton aluminium per tahun.
Sebenarnya kapasitas produksi Inalum pada tahun lalu sudah mencapai 250.000 ton. Namun, karena lebih dari 58% saham Inalum milik Nippon Asahan Aluminium Co Ltd, yang merupakan sindikasi berbagai perusahaan Jepang, sekitar 150.000 ton aluminium diekspor ke Jepang. Tahun ini, kapasitas produksi Inalum tidak akan jauh berbeda dengan pencapaian tahun lalu. Karena itu, pasokan aluminium untuk pasar dalam negeri tetap sebanyak 100.000 ton. Untungnya, saat ini permintaan aluminium secara global cenderung menurun akibat krisis ekonomi. Harga aluminium di pasar global melorot. Per Mei ini, harga aluminium US$ 1.982 - US$ 2.000 per ton. Padahal di bulan yang sama tahun lalu, harga aluminium masih sebesar US$ 2.300 per ton. Dengan demikian impor lebih murah. Perpanjangan Inalum Di sisi lain, akibat harga turun, penjualan Inalum pada Desember 2011 cuma sekitar US$ 40,79 juta. Padahal target Inalum sebesar US$ 47,26 juta. Dengan begitu laba perusahaan pada Desember tahun lalu hanya US$ 3,31 juta dari target sebesar US$ 5,87 juta. Soal pengambilalihan Inalum, pemerintah Indonesia dan konsorsium Jepang bakal bernegosiasi sebelum November 2012. "Tenggat waktu negosiasi sebelum 30 Oktober tahun ini," kata Agus Tjahajana, Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian (Kemperin). Dia menambahkan, perwakilan Jepang akan berkunjung ke Indonesia pada Juni nanti guna mengawali perundingan. Pemerintah berharap, kunjungan ini bisa mempercepat negosiasi, terutama soal nilai buku Inalum. Menurut Agus, berdasarkan penghitungan kewajiban yang harus dibayar pemerintah Indonesia setelah perjanjian berakhir, yakni sebesar US$ 720 juta. Harapan untuk mendapatkan aluminium bagi pasokan dalam negeri dari Inalum rupanya kecil. Soalnya, konsorsium dari Jepang juga sudah mengajukan klausul perpanjangan kerjasama di Inalum.
Agus menyatakan, pemerintah akan mempelajari lebih dulu klausul permohonan tersebut. "Kami belum mau berbicara detail," kata Agus. Apalagi, untuk program ke depan, Indonesia akan membangun industri hilir aluminium dan menjadikan Inalum sebagai kluster industri aluminium. Berdasarkan data Kemperin, impor olahan aluminium dikontribusi dari beberapa negara. Misalnya impor olahan aluminium dari China tahun lalu mencapai lebih dari US$ 57,8 juta, naik signifikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 28,3 juta. Impor dari Korea Selatan tahun lalu mencapai lebih dari US$ 203 juta, naik dari tahun 2010 sebesar US$ 80,3 juta. Sementara ekspor olahan aluminium ke Jepang tahun lalu melebihi US$ 215,2 juta. Angka ini turun dibanding ekspor olahan aluminium ke Jepang pada tahun 2010 sebesar US$ 262,4 juta. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie