JAKARTA. Pemerintah tengah menyiapkan mekanisme pemungutan pajak bagi pengembang media sosial dan pengembang jasa layanan berbasis internet yang menumpang jaringan internet operator lain alias
over the top (OTT), seperti Whatsapps, Facebook, Twitter dan sejenisnya. Layanan berbasis OTT ini dinilai memiliki potensi penerimaan bagi negara. Namun, Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonoegoro mengatakan, para pengembang layanan ini harus memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia sebagai subyek pajak terlebih dahulu.
"Mereka bisa dikenakan PPh badan dan PPN untuk transaksi," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (29/11). Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Mekar Satria Utama menambahkan, para pengembang OTT ini akan dikenakan pajak jika memiliki penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Selain itu, pengenaan pajak akan dilakukan jika perusahaan bertindak sebagai penjual barang dan jasa di Indonesia. Misalnya, seperti dilihat di laman Facebook. Saat ini, banyak yang memanfaatkan situs jejaring sosial ini untuk menjual produk atau jasa. Terkait PPh, menurut Mekar, harus dilihat dulu apakah perusahaan pengembang layanan media sosial ini mendapatkan keuntungan dari pemasangan iklan atau tidak. Termasuk, dalam menyediakan sarana untuk transaksi penjualan. "Perlu dilakukan pembahasan secara intensif dengan mereka atau dilakukan audit," jelasnya. Pada prinsipnya, mekanisme pemungutan pajak akan disesuaikan dengan Undang-Undang Perpajakan serta Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) bila ada. Nah, kata Mekar, di sinilah peran Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk mendorong agar perusahaan OTT menempatkan server di Indonesia. "Jika tidak, akses ke situs tersebut diblokir, seperti di China," imbuh Mekar. Sayangnya, belum bisa dipastikan, kapan ketentuan ini mulai berlaku. Yang jelas, nantinya hal ini akan diatur dalam bentuk regulasi setingkat Peraturan Menteri. Potensi besar Keinginan pengenaan pajak bagi pengembang media sosial dilontarkan Menkominfo Rudiantara. Dia mengaku sudah berkoordinasi dengan kementerian keuangan dan instansi terkait untuk menerapkan pungutan bagi OTT secara fair. Agar OTT dan perusahaan operator di Indonesia bisa saling menguntungkan. "Sehingga ada
tax level playing field," tandasnya kepada KONTAN, Jumat (27/11). Rencananya, OTT semacam Google, Facebook, Twitter atau WhatsApp bakal terkena pajak jika bertransaksi bisnis di Indonesia. Transaksi yang bakal terkena pajak terutama terhadap seluruh transaksi bisnis periklanan dari OTT. Namun, untuk besaran jumlah pungutan, Rudiantara mengaku belum bisa memaparkan secara detail. Yang jelas, ia mengklaim, pungutan ini bakal memberikan keuntungan bagi semua pihak. Kemungkinan besar, aturan ini bakal tertuang dalam bentuk peraturan menteri (Permen). Bentuknya, bisa Permen Menteri Keuangan, Permen Menteri Kominfo atau Permen bersama. "Yang jelas, pembahasan substansi dari rencana aturan ini secara bersama-sama," imbuh Rudiantara. Ia berharap, beleid ini bisa selesai dan segera berlaku pada kuartal pertama 2016. Sementara itu, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) berpendapat, potensi pajak yang bisa digali dari pengembang layanan OTT cukup besar. Namun, harus ada terobosan dan keberanian pemerintah dalam menetapkan regulasi. Terutama, terkait pendirian Badan Usaha Tetap (BUT). Pemerintah perlu memperluas definisi BUT. Definisi BUT adalah badan usaha yang secara fisik hadir di Indonesia, seperti kantor cabang. Sebaiknya, definisi ini diperluas. BUT diartikan tidak hanya bentuk fisik melainkan juga kehadiran layanan dalam bentuk internet di Indonesia. Sehingga, mereka diklasifikasikan sebagai pengusaha kena pajak. Apalagi, Indonesia salah satu negara pengguna Facebook terbesar di dunia. "Jika tidak mau ikut aturan, blokir saja aksesnya, mereka rugi, pemerintah perlu tegas," ujar Yustinus. Berdasarkan informasi yang ia terima, selama ini pengiklan di laman situs OTT, khususnya Facebook, harus meneken surat perjanjian.
Isinya, pengiklan di Indonesia harus menanggung potensi pajak yang muncul dari iklan itu. Sementara, bagi pengiklan, berhubung aturan definitifnya tidak ada, tanggungan pajak itu tidak dibayar ke negara. "Maklum, pelaporan pajak di Indonesia sukarela sehingga masih minim, sulit mendeteksinya," tutur Yustinus. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto