Megalomania politik perempuan



Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip harus mengenakan rompi oranye setelah terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kantornya pada Selasa (30/4) lalu. KPK menduga Sri menerima hadiah: tas, jam tangan, dan berlian dengan nilai ratusan juta rupiah sebagai bagian dari suap proyek pengadaan di Talaud. Kelakuan Manalip tentu mencoreng dan ikut mengiris wajah perempuan Indonesia yang tengah berikhtiar menunjukkan dirinya sebagai sosok yang punya kemampuan dalam menjalankan mesin kekuasaan.

Setidaknya sudah enam kepala daerah perempuan yang terjerat korupsi. Selain Manalip, ada Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija yang ditangkap KPK terkait korupsi proyek pembangunan Pasar Atas Cimahi pada 2016 lalu. Ada juga Bupati Klaten Sri Hartini yang ditangkap KPK bersama empat orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam sebuah OTT terkait dugaan promosi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten, Jawa Tengah.

Tahun 2017, Wali Kota Tegal Siti Masitha terjaring OTT KPK, tepatnya 29 Agustus 2017 karena menerima suap Rp 5,1 miliar yang diduga sebagai ongkos politik pencalonan dirinya sebagai Wali Kota Tegal 2019-2024. Masih di tahun 2017, Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari harus menghuni jeruji karena menerima gratifikasi senilai Rp 110 miliar lebih dari rekanannya.


Terakhir, pada awal Februari 2018, Bupati Subang Imas Aryumningsih ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus suap terkait pengurusan izin di lingkungan Pemkab Subang. Selain mereka, belum terhitung anggota parlemen perempuan yang terjerat rasuah, baik di pusat maupun di daerah.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 254 anggota DPR (2014-2019) menjadi tersangka korupsi, yakni 22 orang di antaranya adalah anggota DPR-RI perempuan. Sebut saja Angelina Sondakh, Chairun Nisa, Wa Ode Nurhayati, Dewie Yasin Limpo, Eni Saragih. Alih-alih mengerek kinerja yang impresionis sebagai politikus hebat, mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya. Mereka gagal mempertahankan bedak integritasnya di hadapan rakyat. Bedak tersebut luntur begitu saja karena tersengat panasnya libido politik.

Tahun 1992, John Naisbitt dan Patricia Aburdane menulis buku bagus berjudul: Megatrends for Woman. Di buku ini, ia menyebut bahwa era kebangkitan wanita dalam berbagai peran akan muncul seiring tata pemerintahan dunia yang kian demokratis.

Ia merujuk pada kemunculan kepemimpinan di kalangan wanita di Amerika dan di berbagai belahan dunia yang didorong oleh persamaan derajat, kebebasan serta emansipasi. Ramalan futurolog Naisbitt tersebut memang mulai menunjukkan realitasnya.

Para perempuan Indonesia terus bergerak masuk dalam sektor publik termasuk politik, meninggalkan stigma yang selama ini tertancap kuat di diri perempuan sebagai sosok kelas dua di relasi sosial. Dari yang hanya mencetak 10% keterwakilan perempuan di parlemen sejak 1955, kemudian mampu menghasilkan 13% keterwakilan perempuan (65 perempuan dari 500 anggota DPR) pada pemilu 1987.

Kemudian terus bertambah menjadi 17% pada pemilu 2014. Sayangnya, kehadiran perempuan dalam ranah politik-kekuasaan secara bersamaan menyisakan gugatan soal potensi dan konsistensi mereka dalam memperjuangkan politik yang lebih berwajah humanis.

Menurut Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dalam orasi ilmiahnya di Universitas Negeri Padang, Sumatra Barat pada 2017 lalu, politik yang humanis adalah politik yang berjiwa kemanusiaan yang memiliki empati dan menghayati perasaan orang lain.

Perempuan dalam berbagai hasil riset (salah satunya riset MarkPlus Insight pada pertengahan 2010) dianggap memiliki kemampuan untuk berempati atau welas asih, yang menggabungkan perasaan empati dan simpati. Kelebihan ini sejatinya menyimpan potensi bagi lahirnya sikap dan kebijakan berbasis humanis yang dalam konteks pembangunan bisa menjadi modal untuk membangun kepedulian yang besar terhadap berbagai persoalan ketidakadilan termasuk korupsi.

Margareth Snyder dalam bukunya, Transforming Development: Woman, Poverty and Politics (1995) menempatkan perempuan di garis penting dalam upaya pemerataan kesejahteraan manusia karena memiliki sisi emosional yang kuat untuk bersentuhan dengan persoalan kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan korupsi.

Namun, semua asumsi tersebut menjadi lemah ketika dihadapkan dengan realitas yang ada, terutama di wilayah politik-kekuasaan. Kita menyaksikan bagaimana politikus perempuan begitu kewalahan mempertahankan modal sosial-humanisnya ketika sudah berhadapan dengan praktik kekuasaan yang menyimpang.

Alih-alih menjadi kekuatan yang melawan perilaku korup di dunia politik, yang terjadi malah sebaliknya. Mereka justru menjadi bagian dari ekosistem reproduksi korupsi yang melahirkan toleransi yang kuat terhadap aneksasi korupsi, termasuk mengimitasi perilaku korup karena menganggapnya sebagai pilihan paling menguntungkan. Atau meminjam Levy and Nail (1993) dianggap sebagai pilihan tak dapat dicegah (disinhibitory contagion).

Citra pigura

Banyak faktor yang bisa menjelaskan kenapa politikus perempuan menjadi bagian holistik dari korupsi, selain karena prinsip moralistik. Salah satunya terkait dengan citra yang sedemikian kuat tertanam dalam tubuh dan pikiran perempuan. Yakni apa yang disebut sebagai citra pigura (Penelitian Tomagola, (1992).

Suatu citra yang memosisikan perempuan sebagai sosok yang harus pandai merias, mempercantik diri, demi keharmonisan relasi dengan laki-laki. Citra inilah yang kemudian membangun kultur hedonisme atau megalomania (obsesi berlebihan terhadap kemewahan dan kuasa) di kalangan perempuan politikus untuk merawat eksistensinya.

Kekuasaan yang lekat dengan berbagai fasilitas dan kemewahan itu kemudian menyuburkan syahwat mereka untuk mendemonisasi politik sebagai wilayah pemenuhan kebutuhan akan prestise, properti, harta, termasuk mengoleksi barang-barang mewah, seperti kegemaran Manalip dan beberapa politikus perempuan lainnya.

Hasrat hedonis tersebut ironisnya difasilitasi oleh sistem politik kita yang konsumtif, yang terbuka terhadap berbagai transaksi, termasuk perendahan (triumviliasi) norma hukum dengan melakukan perlawanan balik terhadap pemberantasan korupsi, melalui kewenangan regulasi yang dimiliki.

Megalomania atau hedonisme kekuasaan membuat kontribusi peran perempuan sebagai akselerator pembangunan seakan berada di atas mesin treadmill (jalan di tempat). Mereka mengantongi tiket politik, terlihat bersuara dan bekerja di depan layar kekuasaan, tetapi sesungguhnya mereka tengah dikendalikan oleh kesadaran pigura dan sistem politik yang materialistik.

Nampaknya jalan untuk menuju kebangkitan perempuan di Indonesia masih panjang dan terjal. Perempuan harus lebih gigih memanfaatkan peluang politik.♦

Umbu TW Pariangu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi