Mejeng pakai jam tulang dan kacamata kayu



Kreativitas adalah sebuah ruang ekspresi tanpa batas. Tidak ada yang bisa menghalangi upaya kreatif. Untungnya kreativitas yang tumbuh di kalangan generasi muda adalah kreativitas yang positif. Kreativitas yang bisa bermanfaat bagi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.

Tengoklah  Marwan Eka Fadilah dan Andrey Indra. Mereka memberi nilai tambah bagi barang-barang yang tidak terpakai di lingkungannya. Marwan Eka Fadilah memanfaatkan limbah tulang sapi dan tanduk kerbau untuk membuat jam tangan; Andrey Indra memanfaatkan limbah kayu mebel untuk membuat kacamata. Keren bukan.

Terinspirasi dari barang sejenis    


Perihal pemanfaatan limbah tulang untuk membuat jam tangan unik.  Marwan Eka Fadilah bilang itu terinspirasi oleh pembuatan jam tangan kayu. "Dulu kan sempat booming jam tangan dari bahan kayu di Bandung. Saya sempat bikin itu juga, tapi saingannya sudah banyak," kata pemuda asal Bandung itu  kepada KONTAN.

Dari situ ia lalu terpikir untuk mencari terobosan baru. Namun, tekadnya saat itu tetap ingin memproduksi jam tangan dari bahan yang unik dan ramah lingkungan. "Akhirnya dari sana ketemulah tulang sapi. Kalau menggunakan tanduk, itu karena ada konsumen yang minta dibuatkan warna gelap," ujar Marwan yang memulai bisnisnya awal 2015.

Setelah mendapat ide, ia tidak langsung mengaplikasikannya. Awalnya, ia melakukan riset bahan baku dan pasar selama satu tahun. Riset itu untuk memastikan pasokan bahan tulang sapi. "Akhirnya saya dapat bahan baku tulang sapi dari tukang bakso dan tukang mi kocok," ujarnya.

Sedangkan untuk bahan baku tanduk kerbau diperoleh dari para perajin tanduk kerbau di Sukabumi. Menurut Marwan, tidak semua tulang sapi bisa dibentuk menjadi jam tangan. Menurutnya, untuk badan jam hanya bisa memanfaatkan tulang paha. Sedangkan rantai jam diambil dari tulang betis. "Tergantung tebal tipis tulangnya, tidak semua bisa dibikin jam tangan," ujarnya.

Lain lagi dengan Andrey Indra. Ia membuat kacamata kayu karena mengikuti tren. Sudah begitu memang bahan bakunya melimpah. Karena rekannya, Iyos, memiliki bisnis keluarga di bidang mebel. Alhasil, pasokan limbah kayu banyak tersedia di tempat produksinya. Kayu limbah yang digunakan untuk bahan baku dipilih sesuai dengan standar produksi. Untuk membuat variasi warna pada kacamatanya dan tetap natural, lulusan Atmajaya Yogyakarta ini memanfaatkan tiga jenis kayu yakni jati, kayu nangka dan sonokeling. Ada juga jenis stripe yang merupakan perpaduan tiga warna kayu, sehingga menjadi lebih unik.

Ngomong-ngomong soal warna, menurut Andrey, jam tangan tulang mengalami proses pewarnaan menggunakan bahan alami. Yang warna putih dan hitam itu asli dari bahan bakunya. Sementara yang warna coklat telah melalui proses yang cukup rumit. "Awalnya direbus, setelah itu dibakar, tapi tidak kena langsung ke apinya," ujar pemuda berumur 23 tahun ini.

Ada tiga seri jam tangan buatan Marwan, yakni Baduy (berwarna hitam dan berbahan dasar tanduk kerbau), Asmat (berwarna putih dan berbahan dasar tulang sapi), dan Dayak (berwarna coklat dan berbahan dasar tulang sapi).

Fulusnya menggiurkan

Karena seluruh proses pengerjaan masih jam tulang manual, satu jam tangan bisa memakan total waktu seminggu. Tak heran, bila harga jual jam ini tidak murah. Untuk jam tangan seri Asmat dan Dayak dibanderol dengan harga Rp 800.000, sedangkan seri Baduy lebih mahal, yakni Rp 1,2 juta.

Dalam sebulan Marwan dan karyawannya bisa menyelesaikan 20 buah-35 buah seri Asmat dan Dayak serta 10 buah seri Baduy. Jika dihitung-hitung, omzetnya sekitar Rp 28 juta-Rp 32 juta sebulan.

Meski tergolong masih kurang populer di masyarakat, jam tangan buatan Marwan sudah terjual di seluruh Indonesia. "Paling jauh pernah kirim sampai Manokwari," ungkap Marwan yang mengusung merek Groot Watch.

Adapun Andrey Indra memereki produknya  Vellew Eyewear. Dia bersama temannya yang bernama Iyos Pramana memproduksi kacamata berbahan kayu limbah mebel sejak September 2015 lalu.

Membuat kacamata kayu dengan model yang bisa diterima pasar tidaklah mudah. Pria asli Yogyakarta ini mengaku sempat beberapa kali mengalami pergantian model kacamata sejak awal merintis Vellew Eyewear. “Sempat 50 persediaan kacamata di awal akhirnya saya rombak karena modelnya menurut saya belum maksimal,” tukasnya.

Vellew Eyewear memproduksi dua jenis kacamata kayu, yakni sun eyewear atau kacamata pelindung sinar matahari dan prescription eyewear atau kacamata sesuai resep, seperti kacamata minus, plus dan silinder. Kedua produk tersebut dibanderol seharga Rp 450.000 hingga Rp 499.000 per unit. Vellew juga menerima model sesuai pesanan dengan bonus grafir nama pada kacamatanya. Produk custom dibanderol seharga Rp 599.000 per unit. .

Andrey bersama tiga karyawannya bisa memproduksi 50 unit hingga 60 unit kacamata per bulan. Dia mengaku bisa meraup omzet Rp 10 juta hingga belasan juta tiap bulan.

Terlihat bukan omzet mereka dalam sebulan cukup menggiurkan. Barang-barang tak berguna itu menjadi bernilai amat tinggi berkat kreativitas. Luar biasa, berkat kreativitas limbah berkurang rezeki melimpah. Salam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi