Meky majukan ekonomi masyarakat desa dengan songket Palembang



Meky Okiya Sari tidak bisa tinggal diam melihat kondisi ekonomi masyarakat di desanya yang memprihatinkan. Ia melihat, desanya memiliki potensi kerajinan tenun songket yang bagus namun belum digarap dengan baik. Maka, ia pun melahirkan motif-motif baru sehingga permintaan dan harga jual tenun songket dari desanya menanjak. Bagi warga Desa Muara Penimbung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, kerajinan tenun songket adalah warisan leluhur yang sangat bernilai. Namun, karena tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan tren, kerajinan tenun songket belum bisa menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk desa tersebut.Sebagian besar masyarakat Muara Penimbung bekerja sebagai petani. Tapi, lantaran belakangan iklim kurang bersahabat bagi pertanian, maka terjadilah ledakan angka pengangguran di kampung tersebut akibat minimnya lapangan kerja. Kondisi ini diperparah oleh banyaknya anak putus sekolah.Melihat kenyataan itu, Meky Okiya Sari tak mau berpangku tangan saja. Ia lantas mencari cara memperbaiki kondisi ekonomi desanya.Dia yakin, potensi tenun songket bisa digenjot untuk meningkatkan penghasilan penduduk Muara Penimbung. "Mayoritas warga kampung sini memang sudah memiliki tradisi menenun yang kuat," ujar dia. Baginya, menenun bukan sesuatu yang asing. Sebab, keluarganya secara turun temurun menjadi penenun songket. Meky mulai menjalani usaha tenun songket sejak 2006, saat usianya baru 19 tahun. Karena banyak berhubungan dengan masyarakat, dia mengetahui kondisi penduduk desanya sangat menyedihkan.

Selembar tenun songket buatan warga Muara Penimbung hanya dihargai Rp 200.000-Rp 300.000. Padahal, untuk menciptakan satu lembar songket butuh waktu cukup lama. Dengan harga yang kelewat rendah itu, mereka pun terkendala ketersediaan bahan kain dan benang.Ketika usianya menginjak 23 tahun, Meky mulai berupaya memperbaiki kondisi masyarakat desanya. Ia tahu kelemahan songket Palembang terletak pada motifnya yang kuno. "Motif yang tidak mengikuti perkembangan zaman membuat orang tidak tertarik membelinya," katanya.Bermodalkan semangat untuk mengubah kondisi masyarakat desanya dan pengetahuan akan dunia fesyen modern, Meky lalu menciptakan motif-motif baru yang lebih segar.Walau hadir dengan warna baru, Meky tetap mempertahankan ciri khas songket Palembang berupa motif bintang. "Motif baru yang saya ciptakan sebenarnya berasal dari motif lama yang dipadukan dengan fesyen modern," ucap dia.Meky juga berupaya untuk membuat inovasi baru berupa motif timbul di kedua sisi. Ia pun berani melakukan terobosan dalam pewarnaan. Jika biasanya songket Palembang cenderung berwarna terang keemasan, dia membuatnya dengan warna gelap.Dengan terobosan itu, songket buatan Meky banjir pembeli. Penjualannya meningkat 60% menjadi 20 songket tiap bulan. Dengan harga berkisar antara Rp 900.000 sampai Rp 5 juta per helai, ia meraup omzet hingga Rp 40 juta per bulan.Dengan terobosan itu pula, harga pasaran songket palembang juga naik. "Sebelumnya, paling mahal tidak sampai Rp 2 juta per lembar," ungkap Meky.Sukses ini memampukan Meky mendirikan Meky Songket Gallery pada 2008. Ia menerima pasokan songket dari 38 penenun di desanya, yang kebanyakan ibu rumah tangga dan remaja putri yang putus sekolah.Meky berani membayar tinggi hasil karya para penenunnya sebesar Rp 600.000 - Rp 800.000 per kain. "Besarnya tergantung tingkat kesulitan motif serta jenis bahannya," ujar wanita tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini. Melihat keberhasilan Meky, warga Muara Penimbung tertarik mengikuti jejaknya. Mereka mulai mengandalkan kerajinan songket sebagai mata pencaharian. "Memang belum menjadi pemasukan utama, namun setidaknya bisa membantu beban suami mereka," tambah Meky.Apalagi, pengerjaan songket bisa dilakukan di rumah asalkan punya alat tenun. Untuk membuat satu lembar songket, butuh butuh waktu 5 hingga 10 hari. Lamanya waktu itu tergantung kesibukan masing-masing penenun.Tak berhenti sampai di situ, Meky juga berupaya mendesain songket menjadi baju siap pakai. Tujuannya, agar model baju songket palembang bisa menembus pasar dunia, termasuk Eropa sebagai kiblat mode dunia. "Ini berdasarkan masukan banyak desainer terkenal Indonesia," katanya.Tapi, ini bukan perkara mudah. Sebab, untuk menjadikan songket menjadi baju harus memotong bagian motif kain sehingga perlu kecermatan tinggi.Dengan kondisi itu, sampai saat ini, Meky hanya memproduksi baju yang terbuat dari songket palembang secara terbatas. Walau belum bisa menembus pasar Eropa, baju berbahan songket bikinan Meky sudah mampu meraih pasar Asia. Mulai 2010, produknya sudah masuk ke Malaysia, meskipun belum dalam jumlah yang sangat besar.Nama Meky pun mulai dikenal di mana-mana. Ia kerap diundang untuk menghadiri acara dan pameran nasional. Kesempatan tersebut ia manfaatkan sebaik-baiknya untuk mempromosikan songket palembang buatan warga desanya.Berkat kerja keras Meky, kini penenun Muara Penimbung tidak perlu lagi menjual produknya ke pasar. Jika mau, mereka cukup menyerahkan ke Meky. Para pembeli yang tertarik pun cukup mengunjungi Meky Songket Gallery di Galery Kampoeng Tenun BNI di Kabupaten Ogan Ilir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi