Melancarkan distribusi likuiditas perbankan



Isu keketatan likuiditas perbankan masih berdengung pada periode awal tahun ini. Penyebabnya masih seputar itu-itu saja, yakni derasnya laju pertumbuhan kredit yang tidak diimbangi dengan laju perolehan dana pihak ketiga (DPK) industri perbankan.

Berkaca pada tahun 2018, laju pertumbuhan kredit tercatat 11,75% year on year (yoy), melebihi laju perolehan DPK yang mencapai 6,5% (yoy). Imbasnya, rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) menjulang tinggi menjadi 94,04%.

Isu tersebut sepertinya akan terus berlanjut di sepanjang 2019. Terutama karena upaya perbankan mendulang DPK masih diliputi tantangan.


Untuk itu, beberapa bank besar telah mengambil langkah untuk menyiasati hal tersebut. Dengan mengutip informasi dari berbagai media massa, langkah bank tersebut diantaranya dengan menerbitkan surat utang, misalnya Bank Mandiri sebesar Rp 40 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp 14 triliun, dan Bank CIMB Niaga sebesar Rp 1 triliun. Sementara Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam periode 2019 - 2021 berencana mengeluarkan surat utang sebesar Rp 20 triliun.

Kendati demikian, isu keketatan likuiditas perbankan perlu dilihat lebih lanjut. Memang indikator keketatan likuiditas yang umum dipakai yaitu LDR pada 2018 cukup tinggi mencapai 94,04%.

Namun, bila kita mengamati tren historisnya, katakanlah dari 2010 hingga 2018, rata-rata LDR industri perbankan hanya 84,63%. Dari rentang waktu tersebut, baru pada 2018 LDR industri perbankan melampaui 92%. Sisanya, LDR berkisar antara 72,88% hingga 91,95%. Kondisi ini dapat diartikan bahwa selama periode 10 tahun tersebut, yakni dari 2008 hingga 2017, perbankan sejatinya menumpuk likuiditas.

Selain itu, perlu diketahui juga bahwa dalam menyalurkan kredit, bank tidak semata-mata mengandalkan sumber dana dari DPK. Mereka juga ternyata aktif mengeluarkan surat utang, mengambil pinjaman dari pihak lain, terutama utang luar negeri, atau menerbitkan saham baru.

Merujuk Statistik Perbankan Indonesia yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejak 2008 hingga 2018, perbankan kita telah menerbitkan surat utang sebesar Rp 115,13 triliun atau meningkat 705,04% atau Rp 100,83 triliun selama periode itu. Lalu mengambil pinjaman dari pihak lain sebesar Rp 296,75 triliun atau meningkat 2.191,65% dibandingkan dengan periode yang sama 2008 yakni Rp 283,80 triliun. Sementara langkah menerbitkan saham baru sebesar Rp 209,32 triliun atau meningkat 142,60% dari sepuluh tahun silam Rp 123,04 triliun.

Gambaran tren LDR ini yang juga diiringi dengan besarnya pendanaan dari non-DPK tersebut, menunjukkan perbankan sejatinya memiliki likuiditas yang masih cukup banyak. Kondisi ini setidaknya terkonfirmasi dari besarnya dana perbankan di Operasi Moneter (OM) BI.

Sebagai gambaran saja, per Desember 2018 dana bank di OM BI telah mencapai Rp 289,18 triliun.

Tidak hanya itu, perbankan kita juga ternyata makin rajin menempatkan dananya di Surat Berharga Negara (SBN) yang diperdagangkan. Hal ini terlihat dari data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemkeu), yang memperlihatkan perbankan Indonesia memiliki SBN yang diperdagangkan mencapai Rp 481,33 triliun per Desember 2018.

Jadi, total alat likuid perbankan yang bila hanya memperhitungkan dana di OM BI dan SBN tersebut mencapai Rp 770,51 triliun atau 13,68% dari DPK per Desember 2018. Jumlah yang terbilang masih sangat besar.

Sementara itu, untuk menaikkan kredit sebanyak 1%, setidaknya dibutuhkan dana kurang dari Rp 60 triliun. Dengan demikian, dibandingkan dengan ketersediaan likuiditas, terlihat sebenarnya sangat mudah bagi perbankan untuk menaikkan kredit sebanyak 1% hingga 2% saja.

Perbankan sendiri selalu berujar bahwa penempatan dana mereka di OM BI dan SBN bersifat sementara karena belum sempat disalurkan di kredit. Makanya, logis saja ketika ingin meningkatkan penyaluran kredit, perbankan tinggal mencairkan penempatannya di kedua jenis aset tersebut.

Likuiditas tak merata

Lalu apa penyebabnya? Hal ini ditengarai isu likuiditas perbankan bukan terletak pada keketatan, namun lebih kepada ketidakmerataan. Lebih tepatnya permasalahan distribusi likuiditas antarbank. Penguasaan likuiditas perbankan juga masih didominasi bank dengan skala besar yang masuk dalam kategori bank BUKU 3 dan 4.

Hal ini terlihat dari pertumbuhan DPK pada kedua kelompok tersebut yang selalu cenderung lebih tinggi ketimbang bank dalam kelompok BUKU 1 dan 2. Selain itu, porsi DPK pada kelompok BUKU 3 dan 4 sejak 2014 hingga 2018 rata-ratanya mencapai 85% dari DPK industri perbankan, sedangkan sisanya diperebutkan bank BUKU 1 dan 2.

Pada sisi lain, akses dana di pasar modal yang lebih baik dibandingkan BUKU 1 dan 2 membuat kelompok bank besar tersebut lebih leluasa mendapatkan dana, baik untuk kepentingan penyaluran kredit maupun antisipasi kebutuhan likuiditas. Ketidakmerataan distribusi likuiditas inilah yang kerap kali menyebabkan bank-bank kecil memperoleh likuiditas di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dengan suku bunga yang tinggi.

Untuk mengatasi distribusi yang tidak merata tersebut inilah, yang kemudian melatarbelakangi BI melakukan relaksasi beberapa ketentuan. Pertama, meningkatkan Giro Wajib Minimum atau GWM rerata (averaging) dari 2% menjadi 3%. Alhasil, komposisi GWM yang harus dipelihara bank terdiri dari GWM tetap 3,5% dan GWM rerata 3%.

Dengan meningkatnya persentase GWM rerata tersebut, maka semakin memberikan keleluasaan bagi bank untuk memanfaatkan saldo GWM nya terlebih dahulu sebesar 3% selama 2 minggu (maintenance period).

Kedua, meningkatkan besaran surat berharga yang dapat direpokan ke BI, dari 2% menjadi 4% dari DPK, terhadap surat berharga yang telah dialokasikan bank untuk memenuhi rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial/PLM (4% dari DPK). Hal ini berarti bahwa bila bank membutuhkan likuiditas, maka bank dapat merepokan seluruh surat berharga tersebut ke BI.

Ketiga atau terakhir, meningkatkan aktivasi lelang term repo dari yang semula bersifat insidental menjadi lebih reguler. Dengan adanya lelang term repo secara reguler juga akan memberikan kepastian bagi perbankan untuk dapat merepokan Surat-Surat Berharga mereka kepada BI dalam rangka mengoptimalkan relaksasi PLM tersebut di atas.

Seluruh relaksasi kebijakan tersebut di atas memberikan akses likuiditas yang lebih luas kepada seluruh bank dan tentu saja akan memberikan kepastian pengelolaan likuiditas perbankan untuk jangka pendek.

Oleh karena likuiditas perbankan masih cukup besar, serta adanya sokongan penuh dari BI dalam pengelolaan likuiditas perbankan, maka sudah waktunya bagi perbankan untuk lebih giat lagi dalam menggelontorkan kredit kepada masyarakat dan dunia usaha.♦

Ardhienus Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi