Saya mau pergi ke Inggris tapi dana dalam bentuk deposito, apakah bisa dipakai untuk pengurusan visa? Apa yang harus disiapkan untuk keliling Asia Tenggara: Singapura-Malaysia-Thailand-Kamboja-Laos-Vietnam? Begitu pertanyaan-pertanyaan yang tertulis pada dinding (
wall) akun grup komunitas Backpacker Dunia di situs jejaring sosial Facebook. Ini adalah komunitas yang menjadi wadah orang-orang yang gemar berwisata ke luar negeri dengan gaya
backpacking. Begitu mendengar kata
backpacking, mayoritas dari kita membayangkan orang yang pelesiran dengan menggendong ransel besar, kadang bercelana pendek, dan mengenakan sandal gunung. Mereka populer dengan sebutan
backpacker.
Gambaran itu tidak sepenuhnya salah. Tetapi, yang lebih tepat,
backpacker adalah orang yang melakukan perjalanan secara mandiri. Para
backpacker merancang dan mengurus sendiri segala persiapan perjalanannya untuk menghemat biaya. “Mulai dari menyiapkan pendanaan, mengurus paspor dan visa, mendapatkan tiket pesawat murah, hingga mencari penginapan,” kata Elok Dyah Messwati, inisiator Backpacker Dunia. Awalnya, komunitas ini terbentuk lewat milis backpackerdunia@yahoo.com yang dibuat oleh Elok pada bulan Juni 2009. Semula, jurnalis di sebuah harian nasional itu membuat grup diskusi di internet tersebut hanya sebagai sarana promosi bukunya yang berjudul
Backpacking Hemat ke Australia. Buku ini Elok tulis untuk mengabadikan perjalanan backpacking-nya ke Negeri Kanguru. Cuma, demi alasan kebebasan menulis, ia memilih menerbitkan bukunya secara independen alias indie, tidak lewat penerbit besar. “Karena itu, saya harus mempromosikan sendiri buku saya, salah satunya lewat milis tersebut,” ungkap perempuan yang sudah menjelajahi Eropa dan Asia ini. Tak disangka, banyak orang yang mendaftar menjadi anggota milis. Elok pun akhirnya membuat akun grup di Facebook pada Maret 2011. Yang mendaftar jadi
member, baik milis maupun akun grup, adalah mereka yang pernah
backpacking ke beberapa negara dan yang punya niat untuk jadi
backpacker cuma tak tahu atau belum paham caranya. Milis dan akun grup yang tadinya hanya menjadi sarana promosi buku Elok berubah menjadi ajang tukar pengalaman dan informasi soal cara bepergian ke luar negeri ala
backpacker. Komunitas Backpacker Dunia pun terbentuk. Dari cuma ratusan anggota saja, sekarang milis dan akun grup komunitas ini sudah memiliki sekitar 8.000
member. Menurut Elok, meski sudah banyak anggota yang pernah menjajal backpacking, tak sedikit member yang belum mengerti konsep komunitas. Misalnya, ada yang mendaftar dengan mengirimkan fotokopi KTP. Padahal, tidak seperti organisasi resmi, tak ada pendaftaran untuk menjadi anggota komunitas ini. Mendorong backpacking Selain itu, Elok mengungkapkan, banyak anggota baru yang juga belum mengerti konsep
backpacking. Tidak jarang, ada anggota anyar yang menanyakan jadwal dan tarif
backpacking bareng. “Masih banyak yang mengira Backpacker Dunia adalah komunitas jalan-jalan bareng atau
travel agent dan
trip organizer untuk bepergian bersama ke luar negeri,” ujar Elok tertawa. Toh, Elok tidak pernah bosan menjelaskan berulang kali bahwa konsep
backpacker berarti pejalan mandiri, bukan turis dengan ransel segede gaban di punggung yang tinggal membayar dan jalan-jalan saja. Komunitas yang mengusung tagline “Ke Luar Negeri Bukan Lagi Mimpi” ini juga mendorong anak-anak muda untuk memiliki
passion berkeliling dunia dan melihat hal-hal baru dan kebudayaan yang berbeda dengan
backpacking. Bagi yang belum pernah, mereka bisa mendapat informasi dari anggota lain. Dari sharing pengalaman, “Harapan kami, anggota komunitas jadi lebih berani berwisata mandiri,” tutur Elok. Mandiri bukan berarti jalan-jalan sendiri, lo, meski kebanyakan
backpacker memang lebih senang melancong ke negara lain seorang diri.
Backpacking bisa dilakukan berdua atau lebih. Kalau ada anggota komunitas yang hendak bepergian dan mengajak
member lain boleh-boleh saja. “Silakan jika sudah saling kenal dan ada kecocokan,” imbuh Elok. Tetapi yang perlu dicatat, komunitas tidak memfasilitasi pengurusan perjalanan dan tak bertanggung jawab dengan ajakan itu. Karena itu, sekalipun pergi beramai-ramai, semua anggota harus mengurus dan bertanggung jawab atas rencana
backpacking mereka. Sebagai sarana
sharing pengalaman serta tip dan trik perjalanan, komunitas mengandalkan milis dan akun grup. Persoalan yang mereka bahas mulai masalah berburu tiket pesawat murah, mengurus visa, menentukan
itinerary atau rencana perjalanan, hingga mencari
guest house bahkan penginapan gratis di negara tujuan. Pandangan hidup Tak hanya di dunia maya, Backpacker Dunia juga menggelar
gathering tiap bulan. Dalam acara yang biasanya digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini sebagian anggota yang sudah kenyang makan asam garam bertualang ke berbagai negara menceritakan pengalamannya. Misalnya tentang cara-cara
survive di perjalanan. Yang datang bukan cuma anggota dari Jakarta dan sekitarnya. “Tapi juga dari Bandung, Tasikmalaya, bahkan Pemalang (Jawa Tengah),” ungkap Elok. Acara kumpul-kumpul juga berlangsung di Kota Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Para anggota memperoleh banyak hal dengan bergabung di komunitas ini. Vincentius Yogi Fitra Firdaus, salah satu contohnya. Dia berhasil mengembara ke luar negeri berkat rajin bertukar informasi dengan anggota Backpacker Dunia yang sudah terlebih dulu melalang buana. Di usianya yang baru 21 tahun, ia sudah me-ngunjungi negara-negara di Asia Tenggara seorang diri. Dari bertukar informasi, Yogi tidak khawatir lagi saat mengurus visa atau berhadapan dengan petugas imigrasi negara lain. “Yang penting bagi mereka adalah kita memiliki
itinerary yang jelas dan tiket pesawat untuk pulang,” beber Yogi yang selalu membiayai sendiri kepergiannya ke luar negeri.
Anggota lain yang telah berhasil pelesiran ke negara lain seorang diri di usia muda adalah Arip Hidayat. Setelah keliling ke lima negara Asia Tenggara di usia 21 tahun, mahasiswa Universitas Singaperbangsa, Karawang, itu tak hanya mendapat pengalaman baru, ia juga belajar banyak soal kehidupan. “Dengan bepergian sendirian kita memiliki kesempatan berdialog dengan diri sendiri,” jelasnya. Pergi menjelajahi Singapura-Malaysia-Thailand-Laos-Vietnam dengan bekal hanya Rp 5,7 juta pada Januari 2012 lalu, Arip pulang membawa pemahaman baru soal diri sendiri dan lingkungan. “Mengembara di negeri orang sendirian, saya jadi sadar betapa beruntung memiliki orangtua yang menyayangi kita,” ujarnya. Elok mengaku bangga dengan pengalaman Arip dan Yogi. Saat ini, selain kuliah, mereka juga rajin bekerja mencari uang untuk bekal perjalanan berikutnya. “Pulang dari bepergian, mereka bukan hanya membawa setumpuk foto dan cerita untuk dipamerkan ke kawan-kawannya, tetapi juga pandangan baru tentang hidup,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Catur Ari