Melawan dominasi asing



Saya punya kenalan yang anaknya sering sekali sakit. Begitu sampai pergantian musim atawa pancaroba, anaknya sakit. Bila terlalu lama bermain di bawah terik matahari, anaknya sakit. Begitu kena alergi, anaknya sakit lagi. Sampai-sampai kenalan saya ini sering sekali minta izin meninggalkan kantornya sebelum jam kerja berakhir karena anaknya sakit. Kenalan saya itu mengaku sebenarnya sudah memberi anaknya vitamin dan sebagainya agar daya tahan tubuh si anak meningkat. Tetap saja, anaknya sering sakit-sakitan.  

Pasar saham Indonesia juga sepertinya mirip dengan anak kenalan saya tadi. Gampang meriang. Negara lain mengalami krisis ekonomi dan moneter, pasar saham Indonesia ikut-ikutan sakit dan tertekan. Ambil contoh saat Turki mengalami krisis utang dan valuta asing belakangan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga cenderung tertekan. Sepanjang pekan lalu, IHSG merosot sekitar 4,83% dibanding posisi penutupan akhir pekan sebelumnya.

Padahal, krisis yang dialami Turki sejatinya tidak terlalu berdampak pada ekonomi Indonesia. Turki memang salah satu mitra dagang Indonesia, terutama untuk produk nonmigas. Tapi, nilai ekspor impor antara kedua negara tidak terlalu besar.


Krisis Turki membuat pasar saham dalam negeri jadi meriang cuma gara-gara masalah sentimen dan persepsi investor. Meski sudah mendapat investment grade dari lembaga pemeringkat internasional besar, investor masih memandang Indonesia sebagai pasar yang berisiko. Tak heran, saat negara lain mengalami krisis ekonomi atau keuangan, Indonesia ikut sakit. Saat krisis Yunani menyeruak beberapa tahun silam, pasar Indonesia juga terpengaruh, meski tidak lama.

Persepsi investor sangat mempengaruhi pergerakan pasar modal dalam negeri lantaran masih banyak dana asing yang bersemayam di sini. Lantaran investor melihat risiko berinvestasi di Indonesia meningkat, mereka memilih keluar dari pasar dalam negeri dan mengamankan investasi mereka ke instrumen lain. Saat ini, pilihan utama investor tampaknya dollar Amerika Serikat (AS).

Keluarnya dana asing dari dalam negeri antara lain tampak dari posisi asing di bursa saham. Sepanjang tahun ini, investor asing sudah membukukan jual bersih (net sell) Rp 51,3 triliun. Di surat utang negara (SUN), kepemilikan asing memang masih naik. Di awal tahun, kepemilikan asing di SUN sebesar Rp 837,03 triliun. Per 10 Agustus lalu, kepemilikan asing naik jadi Rp 847,41 triliun.

Tapi, investor asing tampak tidak gencar memburu SUN tahun ini. Pasalnya, porsi kepemilikan asing di SUN per 10 Agustus lalu cuma setara 37,83% dari total SUN yang diperdagangkan. Sementara, di awal tahun porsi kepemilikan asing mencapai 39,86%. Jadi, asing tidak getol menambah investasi di SUN.

Kepercayaan investor terhadap Indonesia bisa makin buruk lantaran keluarnya dana asing juga membuat nilai tukar rupiah anjlok. Kurs spot rupiah sempat menyentuh Rp 14.668 per dollar AS, level terlemah rupiah dalam kurun dua tahun terakhir.

Banyak perusahaan investasi asing menyarankan investornya mewaspadai gejolak kurs rupiah. Maklum, alih-alih untung, kenaikan kurs rupiah bisa membuat investor asing rugi saat melakukan konversi kembali investasinya ke mata uang dollar. Tambah lagi, defisit neraca berjalan Indonesia melebar. Ini memperparah persepsi investor soal risiko investasi di dalam negeri.

Saat ini, pemerintah memang sudah mulai berupaya mengurangi ketergantungan pasar modal dalam negeri terhadap dana asing. Salah satu contoh, pemerintah mulai gencar mengundang masyarakat berinvestasi di SUN. Pekan ini, pemerintah mulai menawarkan SBR online baru. Otoritas pasar modal juga gencar melakukan sosialisasi untuk memperbesar basis investor ritel di bursa. Harapannya, hal ini bisa memperkuat posisi investor domestik di dalam negeri.•

Harris Hadinata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi