Melestarikan warisan tenun ikat NTT melalui Ina Ndao



Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kain khas nan indah bernama tenun ikat. Sayang, tak banyak masyarakat di sana yang pandai membuatnya. Penyebabnya adalah gencarnya tawaran budaya modern yang lebih menyihir generasi muda. Namun, kekhawatiran akan punahnya para penenun ikat di NTT sepertinya sudah bisa ditepis. Adalah Dorce Lussi yang berinisiatif membuka usaha bernama Ina Ndao. Awalnya, dia mendirikan Ina Ndao untuk menyambung hidupnya. Maklumlah, Dorce berasal dari keluarga yang sudah ditinggal oleh ayahnya. Dia harus berjuang keras bersama ibunya agar dapat bertahan hidup. Nelci Loleh Ndun, ibu Dorce, adalah perajin tenun ikat di Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao. Sementara ayahnya, Mathias Loleh, adalah seorang petani penggarap. Sang ayah meninggalkan Dorce saat masih balita. Lantaran selalu melihat Nelci menenun saban hari, akhirnya Dorce pun bisa melakukan hal yang sama. Usaha menenun ini kemudian diboyongnya ke Kupang saat ibu dan anak ini hijrah ke sana pada tahun 1984. Merasa yakin dengan kemampuannya, Dorce merogoh kocek Rp 20.000 untuk mendirikan Ina Ndao pada tahun 1991. Modal sangat minim itu dipakai buat membeli benang sebagai bahan baku menenun. Sebagian pendapatannya disisihkan dan ditabung untuk mengembangkan Ina Ndao. Kini, Ina Ndao tak hanya sekadar usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup Dorce. Lebih dari itu, puluhan orang ikut mendapatkan berkah. "Saya merasa kepuasant ersendiri saat lebih banyak lagi orang NTT yang bisa menenun," ujar ibu tiga anak ini. Tak hanya memproduksi tenun ikat, Dorce membuka pelatihan menenun kepada warga NTT yang berminat. Dia memulai pelatihan tersebut sejak tahun 1997. Tiap tahun, Ina Ndao menerima hingga lima angkatan kursus menenun. Dalam satu angkatan setidaknya ada 25 murid. Menariknya, Dorce yang juga masih menjadi salah satu tenaga pengajar di sana tak memungut bayaran sepeserpun. Para siswanya hanya perlu membayar biaya transportasi dari daerah masing-masing. Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di NTT mendukung langkahnya ini. Hampir semua siswa yang belajar menenun di Ina Ndao adalah perempuan. Usianya mulai dari remaja lulusan sekolah menengah atas hingga perempuan separuh baya usia 50 tahun ke atas. Dorce mengaku, kerap mendapat permintaan melatih tenun ikat buat masyarakat di luar NTT. Dalam waktu dekat, dia bakal melatih 50 warga Papua atas permintaan pemerintah Provinsi Papua. Meski terhitung sudah ratusan orang di NTT yang diajarinya menenun, Dorce menyadari betul tak semuanya berhasil mengembangkan tenun ikat. "Dari sekitar 100 yang saya latih tiap tahunnya, maka ada 10 saja yang mengembangkan tenun ikat itu sudah lebih dari bagus," katanya. Mantan siswa yang mengembangkan tenun ikat di daerahnya itu selanjutnya bisa menjadi mitranya. Jadi, jika Dorce mendapatkan orderan dalam jumlah besar, dia akan mengikutsertakan para mitra perajin tersebut untuk menggarap di rumahnya masing-masing. Kini, jumlah mitra Dorce sudah lebih dari 2.000 orang. Mereka yang tergabung di dalam mitra tersebut juga termasuk para perajin tenun ikat, yang memang sudah lama menekuni usaha ini. Meski, terkadang mereka menjalankan profesi ini sebagai kegiatan sampingan. Mitra-mitranya tersebar di sejumlah kabupaten di NTT. Antara lain di Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Ende dan Flores Timur. Sementara di Ina Ndao sendiri, Dorce mempekerjakan sekitar 24 penenun ikat. Dalam sebulan, Dorce mampu memproduksi 40 lembar hingga 50 lembar kain tenun ikat. Kain tenun ikat ini untuk memenuhi permintaan pasar di Jakarta, Yogyakarta, Manado dan Papua. Tak hanya pasar dalam negeri, buah aktivitasnya mengikuti sejumlah pameran nasional adalah berdatangannya permintaan dari luar negeri. Dia memiliki pembeli dari Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Selain pameran, Ina Ndao juga kerapmendapat orderan dalam jumlah besar dari pemerintah daerah NTT. "Tahun ini ada 17 dinas di NTT yang sudah memesan seragam pegawai dari tenun ikat," ujarnya. Mengenai harga produk tenun ikat, menurut Dorce, sangat bervariasi. Mulai dari puluhan ribu hingga puluhan juta rupiah. Bentuknya mulai dari sekadar kain hingga yang sudah berwujud pakaian jadi. Dalam sebulan, Ina Ndao bisa mencetak omzet lebih dari Rp 50 juta. Dari keuntungan yang dia peroleh, Dorce menyisihkan 10% untuk memajukan Ina Ndao, yang disebutnya sebagai sentra tenun ikat NTT. Kendala terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan tenun ikat terletak pada kualitas sumber daya manusia. "Lebih banyak sumber dayanya yang malas tidak mau bekerja. Jadi untuk melestarikan tenun ikat juga tidak mau," ungkapnya. Padahal, Dorce punya harapan besar: suatu saat nanti muncul sentra-sentra tenun ikat di berbagai daerah di NTT. Dia tak merasa tersaingi jika hal tersebut benar-benar terwujud. Sebaliknya, dia justru merasa senang karena kerja kerasnya mendapat dukungan dari banyak orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi