Melihat efektivitas quantitative easing dari BI terhadap ekonomi Indonesia



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah memberikan guyuran likuiditas atau quantitative easing (QE) kepada perbankan untuk mendkung likudiitas tetap longgar.

Menurut catatan bank sentral, hingga 15 Desember 2020, BI telah menambah likuiditas ke perbankan sekitar Rp 694,87 triliun.

“Terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 524,07 triliun,” ujar BI dalam laporan Tinjauan Kebijakan Moneter.


Kepala ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, kalau guyuran likuiditas yang diberikan oleh bank sentral tersebut merupakan salah satu kunci dalam pemulihan perekonomian di tahun ini, terutama di tengah badai Covid-19.

Baca Juga: Naik 24% sejak awal tahun, prospek emas berpotensi meredup di tahun depan

“Kalau tidak ada QE dari BI, pertumbuhan ekonomi kita bisa lebih parah. Pertumbuhannya bisa lebih rendah dari yang diproyeksikan. Bisa di bawah minus 2%,” ujar David kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).

Akan tetapi, David bilang kalau QE bukan merupakan kunci utama dalam pemulihan ekonomi. Yang menjadi kunci utama pemulihan ekonomi merupakan kebijakan fiskal, terutama dari stimulus yang digulirkan oleh pemerintah untuk memulihkan keyakinan aktivitas ekonomi.

Kalau ada injeksi uang tetapi aktivitas ekonomi tidak berjalan, maka menurutnya itu akan percuma karena tidak akan ada peredaran uang dan ini akan membuat pertumbuhan ekonomi tetap lemah.

“Jadi memang kuncinya harus dari pemerintah yang menjadi katalis pendorong ekonomi ke depan,” tambahnya.

Di tahun depan, David juga melihat kalau kunci perbaikan pertumbuhan ada di stimulus fiskal. Ditambah, dengan vaksin yang diharapkan mampu mendorong keyakinan masyarakat dan perusahaan untuk melakukan aktivitas ekonomi.

Baca Juga: Mengkilap tahun ini, pamor emas justru berpotensi meredup pada tahun depan

Sementara dari BI sendiri, David yakin kalau bank sentral telah memiliki rumusan kebijakan yang akan membantu kebijakan fiskal dalam mendorong pemulihan ekonomi, entah dari QE, burden sharing, maupun kebijakan suku bunga rendah.

Di tahun 2021, David memperkirakan kalau perekonomian sudah akan kembali ke zona positif. Menurut prediksinya, ekonomi akan tumbuh di kisaran 4,5% hingga 5%.

Selanjutnya: IHSG diproyeksi menguat, analis rekomendasikan 8 saham ini untuk Senin (21/12)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli