Masa depan adalah ekonomi digital. Maka, beralasan jika hasil riset Mc Kinsey & Company menegaskan potensi sangat besar dari ekonomi digital. Fakta ini didukung temuan belanja online yang tahun 2017 mencapai US$ 8 miliar dan akan menembus US$ 65 miliar (Harian KONTAN, 22 November 2018). Potensi ekonomi digital tersebut tidak bisa terlepas dari perkembangan internet yang semakin mudah dan murah. Selain itu, aspek pembiayaan yang juga semakin mudah memberikan dampak simultan dari potensi dari ekonomi digital ke depan. Realitas ini menjadi peluang dan tantangan di semua aspek. Bukan hanya lembaga pembiayaan, tapi juga logistik pengiriman. Termasuk regulasi yang berlaku. Jika dicermati, potensi ekonomi digital tidak terlepas dari perubahan perilaku dari konsumen pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Betapa tidak, persepsi tentang belanja saat ini tidak lagi terfokus kepada perpindahan dari rumah ke mal atau pasar swalayan tapi juga bisa berubah dari tunai ke non-tunai, dari katalog belanja ke klik dan dari model tradisional yang offline ke model belanja modern yang online.
Hal ini juga didukung keberadaan armada transportasi online. Sehingga memungkinkan transaksi tanpa harus keluar rumah, termasuk juga aspek layanan Go Food. Artinya, era digitalisasi memungkinkan terjadinya perubahan perilaku belanja. Potensi besar dari ekonomi digital tentunya harus juga didukung dengan regulasi atau kebijakan yang konstruktif termasuk salah satunya adalah di bidang fintech.atau teknologi finansial (tekfin). Meskipun demikian, persoalan tekfin juga harus dicermati karena Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melaporkan di tahun ini ada 200 pengaduan pembiayaan tekfin yang terdiri bunga pinjaman yang mencekik dan teror penagihan pinjaman. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir 341 tekfin yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga beralasan jika YLKI merekomendasikan kepada OJK agar keberadaan tekfin ilegal tidak merugikan dan meresahkan masyarakat. Terkait ini, tekfin diprediksi menyalurkan kredit sampai Rp 20 triliun hingga akhir tahun ini. Realitas itu mengacu data OJK sampai Agustus 2018 penyaluran tekfin peer to peer atau P2P mencapai Rp 11,7 triliun.Yang juga menarik dicermati ternyata ancaman tekfin ilegal terus bertambah dan data dari Kominfo menegaskan sampai Senin 26 Nopember jumlahnya mencapai 385 aplikasi (Harian KONTAN, 27 November 2018). Realitas ini secara tidak langsung memberikan gambaran tentang potensi pertumbuhan tekfin dalam konteks pembiayaan meski di sisi lain fakta ancamannya tetap harus diwaspadai karena bisa memberikan dampak negatif terhadap kepercayaan masyarakat. Artinya, pengawasan oleh pihak terkait, terutama OJK menjadi sangat penting agar jangan sampai terjadi seperti kasus Pakto 27/1988 yang kemudian memicu booming perbankan dalam konteks kuantitas meski tidak sepadan dengan aspek kualitasnya. Sehingga akhirnya memicu sentimen terhadap kepercayaan masyarakat. Eksistensi tekfin dalam memacu potensi ekonomi digital memang tidak diragukan lagi dan karenanya pemerintah melalui OJK berkepentingan memacu peran tekfin terutama mendorong penggunaan teknologi itu sebagai platform inklusi keuangan terutama meningkatkan akses pendanaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), selain potensi lain dalam pembiayaan berbasis ekonomi syariah. Hal ini tidak terlepas dari eksistensi tekfin yang memiliki penetrasi tinggi sehingga dapat menjangkau semua kalangan yang ada di masyarakat. Mengacu Fintech Report 2017 saat ini ada 196 tekfin rintisan yang memiliki investasi US$ 176,75 juta dan sampai Agustus 2018 fintech P2P lending yang ada di Indonesia mencapai 70 perusahaan dengan akumulasi pinjaman Rp 11,68 triliun atau tumbuh 355,73% dari periode serupa tahun lalu. Kekuatan ekonomi Potensi ekonomi digital dan peran keberadaan tekfin memang sangat dibutuhkan. Dan diharapkan juga menyasar UMKM. Argumen yang mendasari karena UMKM telah memiliki peran sangat besar dari aspek penyerapan tenaga kerja yaitu 60% serta berkontribusi 40% terhadap PDB. Maka, keterlibatan tekfin di UMKM akan memberikan dampak makro, tidak hanya dari aspek pembiayaan, tapi juga akses ke permodalan yang lain. Kalau ini terjadi, keberadaan UMKM akan semakin penting pada era perekonomian digital. Mata rantai dari keberhasilan ekonomi digital akan berpengaruh terhadap geliat ekonomi secara makro. Bahkan, potensi UMKM juga bisa diselaraskan dengan potensi ekonomi di daerah sehingga bersinergi dengan harapan era otonomi daerah yang menumbuhkembangkan potensi ekonomi di daerah berbasis sumber daya lokal dan kearifan lokal. Keyakinan terhadap sinergi tersebut juga mengacu dari potensi ekonomi kreatif yang kini sedang dikembangkan pemerintah. Perkembangan ekonomi kreatif ke depan pasti bersinergi dengan ekonomi digital, apalagi saat ini perkembangan tekfin juga semakin pesat yang memberikan peran penting dalam semua bentuk transaksi, terutama yang berbasiskan online. Bahkan, tarif internet yang semakin murah semakin memungkinkan semuanya terkoneksi secara realtime online tanpa lagi terkendala oleh ruang dan waktu. Artinya, perkembangan ekonomi kreatif di masa depan pasti bersinergi dengan tuntutan terhadap ekonomi digital. Dan karenanya digitalisasi menjadi salah satu tuntutan dan tantangan bagi semua pelaku usaha. Bahkan, era otonomi daerah juga menuntut digitalisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya dengan sistem e-government.
Keyakinan sinergi UMKM dan tekfin juga selaras dengan perkembangan e-commerce. Apalagi pertumbuhan e-commerce di Indonesia mencapai 60%-80% per tahun. Hal ini menguatkan argumen digitalisasi ekonomi selaras dengan pertumbuhan e-commerce. Dan ini menegaskan peran e-commerce sebagai salah satu pendukung kekuatan ekonomi di Indonesia. Artinya, industri ekonomi kreatif yang bersinergi dengan eksistensi dalam infrastruktur digital mampu menawarkan berbagai alternatif solusi yang membantu bagi UMKM, ekonomi kerakyatan dan pelaku ekonomi kreatif. Bahkan, perannya juga bisa menumbuhkembangkan etos kewirausahaan. Oleh karena itu, beralasan jika realitas ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mendorong UMKM untuk go online karena 60% kekuatan ekonomi domestik ditopang oleh UMKM. Terkait hal ini, tahun 2017 pemerintah telah "mengonlinekan" sekitar 30.000 UMKM yang tersebar di 60 kota.•
Edy Purwo Saputro Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi