Kerap kali diberitakan berjalannya jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu didera tekor dan mengalami banyak kerugian. Pada beberapa pekan terakhir berita yang berkembang menunjukkan, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 7 triliun-Rp 9 triliun. Seiring dengan hal tersebut, berkembang pula opsi menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit. Mulai dari menaikkan iuran kepesertaan, penguatan peran pemerintah daerah lewat 10%anggaran kesehatan daerah, hingga meningkatkan cukai rokok. Penulis punya beberapa catatan untuk melihat fenomena tersebut. Pertama, defisit yang terjadi karena missmatch antara iuran dan klaim jaminan kesehatan nasional secara aktuaria belum tentu menggambarkan BPJS Kesehatan menderita kerugian. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengungkapkan, potensi defisit selalu ada selama besaran iuran kepesertaan belum mencapai angka ideal. Tapi antara pengeluaran dan pendapatan itu per akhir tahun surplus. Karena, pendapatan itu bukan semata-mata iuran. Ada hasil investasi, kemudian ada pula komitmen pemerintah memberikan alokasi dana tambahan.
Pada tahun 2015, BPJS Kesehatan surplus dana tunai sebesar Rp 1,9 triliun. Jumlah tersebut naik bila dibanding kas dan bank akhir 2014 yang mencapai Rp 494,11 miliar (Tempo, 13/4/2016). Adapun pada tahun 2016, BPJS Kesehatan melaporkan pendapatan iuran sebesar Rp 67,4 triliun. Sedangkan realisasi biaya manfaat jaminan kesehatan sebesar Rp 67,2 triliun (Kompas, 23/5/2017). Tentu dari data ini kita pun dapat melihat surplus yang ada. Lalu pada satu semester berjalan, terhitung untuk Januari 2017 hingga per 31 Agustus 2017, BPJS Kesehatan menerima iuran Rp 35,96 triliun. Sementara dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BPJS Kesehatan, pendapatan iuran yang direncanakan direksi selama satu semester sebesar Rp 40,4 triliun. Namun soal pendapatan iuran yang direncanakan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BPJS Kesehatan, bukan serta merta menunjukkan pengeluaran yang ditimbulkan oleh pelayanan kesehatan yang di jamin oleh sistem ini. Sayangnya data yang berkembang masih tumpang tindih, sehingga sulit untuk melihatnya dengan lebih jernih. Disamping itu juga tak tampak pemberitaan perihal perhitungan sumber pendapatan lain yang diterima BPJS Kesehatan disamping iuran. Sebab dalam UU No. 24 Tahun 2011, BPJS juga diberi wewenang menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang. Tentu ini memiliki resiko namun jarang diungkap data aspek likuiditas maupun hasil dari investasi yang dilakukan BPJS tersebut. Logikanya adalah, apabila BPJS sukses melakukan investasi jangka pendek maupun jangka panjang tentu lembaga ini akan mandiri dan tidak mengeluh defisit. Memaksimalkan iuran Kedua, soal missmatch yang terjadi itu perlu kita pertanyakan perihal kesahihan data yang dikelola BPJS Kesehatan. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menunjukkan terdata ada 61 juta peserta program JKN yang tidak sahih. Secara rinci, temuan BPK itu menggambarkan 522.000 duplikasi data kepesertaan terjadi; 36 juta data kepesertaan tidak dilengkapi nomor induk kependudukan; 81 data kepesertaan tidak bernama; 800.000 tidak beralamat; 7.635 data kepesertaan tidak dilengkapi tanggal lahir; 1.076.337 data kepesertaan tidak jelas kapan tanggal waktu terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan; 389.170 anomali daftar kepesertaan lain dan 22 jutaan lebih kepesertaan tidak aktif. BPK Juga menilai data peserta BPJS Kesehatan tak sinkron dengan data dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan data Badan Pusat Statistik. Akibatnya, sekitar 1,4 juta peserta tak memperoleh manfaat dari program jaminan kesehatan nasional. Ketiga, mengutip Zaki Hussein (2015), sebenarnya terjadi ambiguitas dalam tubuh BPJS Kesehatan. Karena lebih berorientasi sebagai institusi jasa keuangan yang bertujuan untuk mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung keuangan negara. Tidak heran jika BPJS Kesehatan harus memaksimalkan pendapatan sembari menekan seminimal mungkin pengeluaran. Hal ini dilakukan melalui penggunaan sistem tarif INA-CBG (Indonesia Case Based Group) yang membatasi pelayanan kesehatan melalui standar pengobatan yang sudah terpaketkan. Harus diakui metode ini menjadi indikasi kuat bagi BPJS Kesehatan dalam menekan pengeluaran. Dengan INA-CBG, BPJS Kesehatan sudah dapat mengestimasi pengeluaran yang dengannya memperkecil risiko pengeluaran pelayanan kesehatan yang berlebihan (Zaki dalam Ridha (2016)). Penetapan tarif obat yang dipaketkan terjerat oleh mekanisme pasar. Otoritas kesehatan nasional tak punya kendali atas fenomena tersebut. Sehingga yang bermain adalah supply dan demand di pasar kesehatan. Tak dapat dimungkiri jaminan kesehatan publik tidak bakal berjalan dengan semestinya bila masih bergantung pada mekanisme ini. Konsekuensi logisnya, akan selalu muncul kebutuhan akan kenaikan tingkat iuran peserta. Di sini dapat diargumentasikan bahwa BPJS Kesehatan sudah secara inheren mengidap kebangkrutan finansial karena relasinya dengan mekanisme pasar obat-obatan yang tidak dikendalikan negara (Ridha, 2016).
Steffie Woolhandler, Reinhard Busse, dengan beberapa profesor dan rekan perisetnya dalam Journal Healt Affairs (2013) membuat komparasi yang menarik antara beberapa negara yang menyelenggarakan jaminan kesehatan publik. Negara yang diteliti antara lain Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Skotlandia, Wales, Prancis, Jerman, dan Belanda. Negara yang biaya administrasi kesehatannya tinggi (seperti Amerika Serikat) cenderung disebabkan oleh sistem kesehatan yang terprivatisasi. Kendali pelayanan kesehatan berada pada pasar, alias berada di luar kendali negara. Sementara negara-negara yang biaya administrasi kesehatannya terbilang rendah (laksana Kanada dan Skotlandia) memiliki sistem jaminan kesehatan publik sangat terintegrasi dan tersosialisasi. Pada umumnya aktor-aktor yang berperan berkebalikan pada negara yang biaya administrasi kesehatannya tinggi. Menempatkan kata sosial pada program kesehatan ini memang merupakan tanggung jawab yang besar bagi negara. Karena itu adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, begitu yang termuat dalam Pasal 1 UU No 24/2011 tentang BPJS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi