Melindungi Petani, Melindungi Pangan



KONTAN.CO.ID - Krisis akibat virus korona (Covid-19) telah menguji ketangguhan aspek kesehatan dan ekonomi. Jika korban virus terbesar adalah orang-orang yang rentan, seperti manula dan individu yang memiliki riwayat sakit, krisis ekonomi terberat menyasar kelompok rentan, yakni petani, nelayan, pekerja informal, pelaku UMKM, dan warga miskin (di kota dan desa). Kebijakan untuk bekerja, sekolah, dan beribadah di rumah diikuti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat banyak aktivitas berhenti (dihentikan). Dampaknya, para perantau yang mengais rezeki di ibu kota kehilangan pekerjaan. Mereka kemudian mudik dini ke kampung halaman.

Berapa jumlah yang sudah mudik dini sebelum larangan berlaku? Diperkirakan jumlahnya besar. Dalam situasi normal, tahun lalu 23 juta orang mudik. Bila 10% saja mereka mudik dini, betapa seriusnya ancaman di kampung halaman. Adalah benar "kampung halaman" tidak selalu desa. Juga benar mereka belum tentu carrier alias pembawa virus Korona. Tapi bisa dipastikan sebagian besar mereka berasal dari desa. Mereka kembali ke kampung halaman setelah merantau dari Jabodetabek, wilayah episentrum Covid-19. Jadi, ancaman bagi desa amatlah nyata apabila arus mudik dini ini tak dicegah dan dilarang.

Realitas yang kasat mata sampai saat ini desa/perdesaan adalah tempat produksi pangan. Menurut kalkulasi Krisnamurthi (2020), saat ini produksi pangan tersebar: 80% di desa, 17% di pinggiran kota, dan 3% di kota. Bila impor dihitung, lebih 80% produksi pangan diproduksi di dalam negeri. Kala ada PSBB dan saat social/physical distancin g diberlakukan, pangan harus tetap tersedia. Pangan tetap harus diproduksi di perdesaan untuk kemudian dialirkan lewat jalur logistik ke perkotaan.


Siapa pelaku produksi pangan itu? Para petani yang notabene orang desa. Jika petani harus di rumah saja, siapa yang memproduksi pangan?. Hari-hari ini kita tengah panen padi. Terhitung dari Maret-Mei nanti, periode yang dinamakan panen raya itu kira-kira produksinya mencapai 60%-65% dari produksi padi dalam setahun. Jika petani harus di rumah saja, siapa yang memanen padi? Jika pekerja penggilingan harus di rumah saja, siapa yang menggiling padi? Ujung dari semua ini: jika petani di rumah saja dan padi tidak dipanen, penggilingan padi tidak mendapatkan gabah, maka beras di pasar bakal langka.

Kita tahu beras adalah pangan pokok semua perut warga. Partisipasi konsumsi beras oleh warga merata di seantero negeri. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, beras mendominasi: rerata 24% dari total pengeluaran. Ketika harga beras naik lantaran pasokan seret karena petani di rumah saja, panic buying bakal terjadi. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Tak terbayang bagaimana kondisi sosial-politik apabila itu terjadi. Bukan mustahil situasi 1997-1998 terulang, yakni rezim tumbang.

Itu baru beras. Padahal, kita tahu desa juga penghasil pangan pokok dan penting selain padi. Seperti jagung, kedelai, gula, kacang-kacangan, aneka umbi-umbian, daging (sapi, kambing/domba, dan unggas), telur (ayam, puyuh, itik), berbagai sayuran, aneka komoditas hortikultura dan buah-buahan. Jika petani di rumah saja, produksi semua pangan penting itu terancam. Impor, yang biasa jadi jurus penguasa, tidak bisa lagi jadi solusi. Implikasi korona yang memutus/membatasi lalu lintas hubungan dan perdagangan antarbangsa karena lockdown membuat impor bukan saja sulit, tapi nyaris mustahil.

Perang lawan Korona

Jadi, dalam perang menghentikan penyebaran virus korona, bukan hanya dokter, perawat, dan tenaga medis yang berada di garis terdepan (frontliner), petani juga jadi ujung tombak kita semua untuk menjamin ketersediaan logistik (pangan). Lewat tangan petani dalam memproduksi pangan pokok dan penting, sayur dan buah-buahan petugas medis, elite politik, dan kita semua akan mendapatkan asupan pangan beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Kualitas asupan pangan akan menjaga imunitas tubuh, menentukan berhasil-tidaknya, dan daya tahan kita berperang melawan virus korona.

Karena itu, perlu segera dibuat aneka langkah nyata untuk melindungi desa dan petani. Ini menyangkut kepentingan strategis melawan korona. Pertama, pemerintah perlu merealokasi stimulus Rp 405 triliun untuk dialirkan sebagian guna membantu desa dan petani. Bukan sebaliknya, menyunat anggaran Kementerian Pertanian untuk Covid-19.

Betapa strategisnya sektor pertanian/pangan dalam masa pandemi Covid-19 tak perlu diragukan lagi. Bisa dipahami jika kemudian Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyuntik petani yang terpukul Covid-19 sebesar US$ 19 miliar (Rp 300 triliun). Realokasi Dana Desa oleh pemerintah juga harus membuat warga desa/petani lebih berdaya dalam produksi pangan. Jaminan akses petani atas input (benih, pupuk, air) tak bisa ditawar.

Kedua, rantai pasok produk dari desa, terutama pangan, harus dijaga dan dijamin berjalan baik. Bagi warga desa ini berarti pendapatan terjaga, bagi warga luar desa berarti pangan dan produk lain tetap tersedia. Rantai pasok yang berjalan baik akan menutup peluang spekulasi, panic buying, dan eskalasi kenaikan harga. Semua ini penting bagi konsumen.

Ketika karantina dan pembatasan terjadi, arus logistik terhambat dan produk petani tak terserap. Upaya kreatif menghubungkan produsen-konsumen lewat pesanan online selain memperpendek rantai pasok juga menjamin aktivitas produksi berjalan. Ini semua perlu protokol khusus agar aktivitas produksi dan logistik itu tetap terjaga baik.

Ketiga, desa dan elemennya (pemerintah desa, dan kelompok masyarakat) perlu pendampingan agar bisa meningkatkan kapasitas, agar lebih berdaya melawan Korona. Misalnya, mendayagunakan potensi desa penghasil empon-empon atau memproduksi masker sederhana. Pendek kata, warga desa harus dipastikan tetap bisa bekerja dalam situasi perang melawan Korona, termasuk apabila desa harus dikarantina.

Keempat, desa perlu segera melakukan pendataan mandiri berbasis masyarakat ihwal Korona secara digital. Pendataan ini akan menjadi basis pengelolaan orang dalam pemantauan atau pasien dalam pemantauan yang ada di desa, termasuk jika ada yang positif Covid-19.

Pengalaman masa lalu mengajarkan, desa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Desa punya aneka cara dan kearifan untuk menghadapi aneka masalah. Namun, dalam perang melawan korona, desa membutuhkan solidaritas semua pihak.

Penulis : Khudori

Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti