KONTAN.CO.ID - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan melakukan
initial public offering (IPO) holding geotermal pada 2021. Sebelum IPO, Kementerian BUMN akan membentuk holding geotermal dari tiga perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) milik BUMN atau anak BUMN, yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG) dan PT Geo Dipa Energi (Persero) (GDE). PGE mengelola 14 wilayah kerja panas bumi (WKP) dengan total kapasitas terpasang 672 MW (
own operation) dan 1.205 MW (
joint operation contract/JOC). PLTP
own operation berlokasi di 6 WKP, yaitu Kamojang 235 MW, Lahendong 120 MW, Ulubelu 220 MW , Sibayak 12 MW, Karaha 30 MW, dan Lumut Balai 55 MW. Sedangkan GDE mengelola 4 WKP dengan kapasitas terpasang total 115 MW dan PLN GG sebesar 12,5 MW. Sambil menunggu hasil restrukturisasi perusahaan pelat merah tersebut dan siapa perusahaan yang melantai di bursa, mari kita melirik emiten geotermal di bursa. Saat ini terdapat dua emiten yang memiliki unit usaha geotermal, yaitu PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dan PT Medco Power Indonesia (MPI). BRPT merupakan emiten saham, sementara MPI emiten obligasi atau sukuk.
BRPT masuk ke sektor geotermal melalui akuisisi 66,7% saham Star Energy Group Holdings Pte Ltd (SEGHPL). Untuk mendanai akuisisi SEGHPL, BRPT melakukan Penawaran Umum Terbatas II di 2018. SEGHPL memiliki unit usaha yang mengoperasikan PLTP Salak, Darajat, dan Wayang Windu berdasarkan JOC dengan PGE. Total kapasitas terpasang PLTP 875 MW, terbesar di Indonesia. Pada 2018 MPI menerbitkan obligasi MPI I dan Sukuk Wakalah MPI I masing-masing Rp 600 miliar dan di 2019 menerbitkan Sukuk Wakalah MPI II senilai Rp 850 miliar. Melalui entitas anak MPI melakukan pengendalian bersama PLTP Sarulla 330 MW dengan INPEX, Itochu, Kyushu, Ormat, dan SOL. Selain itu, MPI bersama PT Ormat Geothermal Power mengembangkan proyek PLTP Ijen 2 x 55 MW dengan target COD pada 2023. Bakal bertambahnya emiten geotermal akan menjadikan sektor ini menarik perhatian investor. PLTP merupakan pembangkit listrik energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Dapat menjadi pilihan di saat investor mulai memerhatikan penilaian lingkungan, sosial, dan pemerintahan yang baik, di samping tetap mencari
return yang tinggi dan konsistensi pertumbuhan dalam jangka panjang. Pengembangan geotermal mempunyai risiko kegagalan yang tinggi, dimulai dari tahapan
preliminary survey, exploration, test drilling, project review and planning, field development and production drilling, construction, start-up and commissioning, operation dan
maintenance. Pelaksanaan proyek pengembangan geotermal membutuhkan waktu 5-10 tahun. Lamanya waktu dan besarnya investasi mengakibatkan sektor geotermal belum menarik bagi investor. Terbukti, saat ini kapasitas terpasang baru 2.130,7 MW atau 8,9% dari sumber daya sebesar 23.965 MW. Selain itu, ketergantungan dengan PLN sebagai pembeli listrik dan harga jual listrik belum begitu ekonomis, perbankan masih enggan memberikan pembiayaan ke pengembang panas bumi, potensi gangguan operasi pembangkit, serta kuantitas dan kualitas sumber daya panas bumi akibat faktor alam. Nah, IPO diharapkan menjadi solusi masalah pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan PLTP sesuai Rencana Umum Energi Nasional, dengan target kapasitas terpasang 7,2 GW (2025) dan 17,5 GW (2050), serta mendorong pengelolaan geotermal semakin transparan.
Kinerja emiten geotermal Berdasarkan laporan keuangan informasi segmen MPI di 2019, segmen IPP geotermal membukukan pendapatan Rp 887 miliar, laba berjalan Rp 87 miliar, dan aset Rp 9.257 miliar. Rasio keuangannya untuk
gross margin 71,9%,
net margin 9,8%,
return on asset (ROA) 0,9%, dan
return on equity (ROE) 2,9%. Rendahnya ROA dan ROE akibat PLTP Sarulla baru beroperasi 2017 dan pada 2019 terdapat gangguan operasional sehingga produksi listrik turun. Sementara segmen geotermal BRPT membukukan pendapatan US$ 513,5 juta, laba bersih US$ 126 juta, dan aset US$ 3.395 juta. Rasio keuangan gross margin 80,5%, net margin 24,2%, ROA 3,8%, dan ROE 12,7%. Dari kinerja emiten di atas, emiten yang telah lama mengoperasikan PLTP akan memiliki kinerja laba lebih baik karena beban pokok pendapatan yang relatif kecil. Kemudian, memerhatikan investasi PLTP merupakan
high capital intensive maka beban terbesar adalah beban pendanaan dan beban depresiasi. Kinerja saham BRPT pasca akuisisi SEGHPL menujukkan peningkatan yang signifikan, harga sahamnya per 31 Desember 2019 adalah Rp 1.510 meningkat 215% dibandingkan dengan harga penutupan 2018 sebesar Rp 478. Dapat disimpulkan, akuisisi usaha geotermal positif terhadap kinerja saham BRPT. Berdasarkan informasi dalam Laporan Tahunan PT Pertamina (Persero) selaku induk PGE, pendapatan PGE di 2019 sebesar US$ 667 juta, laba bersih US$ 95,56 juta, dan aset US$ 2.572 juta. Rasio keuangan net marginnya 14,3% dan ROA 3,7%. Tidak tersedianya informasi keuangan dalam Laporan tahunan PGE sangat disayangkan, karena hal tersebut menunjukkan rendahnya aspek keterbukaan entitas milik BUMN tersebut. Berdasarkan komparasi kinerja antara BRPT dengan PGE, BRPT lebih unggul dalam rasio net margin, sedangkan ROA keduanya relatif sama. Untuk itu, upaya restrukturisasi perusahaan geotermal pelat merah menjadi perhatian utama dalam meningkatkan valuasi PGE agar menarik investor. Selain itu, ada kekuatan (
strengths) ketiga perusahaan di atas. Berdasarkan pengaturan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991, pengusaha geotermal mendapatkan
privilege dari pemerintah berupa
all inclusive tax untuk WKP eksisting, yaitu Setoran Bagian Pemerintah (SBP) sebesar 34% dari
net operating income. SBP diberlakukan sebagai pemenuhan pajak penghasilan (PPh) badan dan pajak-pajak lainnya, yaitu pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan pungutan lainnya ditanggung/dikembalikan oleh pemerintah termasuk bonus produksi yang telah dibayarkan kepada pemerintah daerah diberikan penggantian dari SBP. Keistimewaan tidak berlaku bagi pengusaha geotermal yang mengelola WKP berdasarkan Izin Panas Bumi. Satu badan usaha hanya boleh mengelola satu WKP (tidak ada konsolidasi pajak/
ring fencing). Pengusaha geotermal dikenakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa iuran tetap dan iuran produksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk kewajiban perpajakan pengusaha geotermal melakukan pembayaran pajak sesuai peraturan perpajakan umum.
Akhirnya, publik tentu berharap IPO holding geotermal menjadi kenyataan. Emiten baru itu memiliki kinerja mumpuni dengan pertumbuhan produksi geotermal yang agresif. Selanjutnya, holding geotermal mampu memacu kinerja dan profesionalisme pengelolaan usaha dalam upaya mengoptimalkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional termasuk memaksimalkan penerimaan negara. Penulis : Hellington Patopang Analis Anggaran Madya Ditjen Anggaran Kemenkeu Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti