Melirik Potensi Penerimaan Pajak dari Sektor Informal



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Tingginya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal akan menjadi tantangan dalam mengoptimalkan penerimaan pajak.

Pada Februari 2024 saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 84,13 juta orang atau setara 59,17% dari total penduduk bekerja.

Hanya saja, angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Februari 2023 sebesar 60,12%.


Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa pekerja informal tidak melalui sistem withholding atau pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja. Oleh karena itu, risiko untuk tidak patuhnya juga menjadi lebih besar.

Baca Juga: Penerimaan Negara Diperkirakan Bisa Meningkat Melalui Core Tax System

"Dan terlihat dari data kepatuhan pelaporan SPT, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) karyawan memiliki tingkat kepatuhan yang jauh lebih tinggi dari WP OP non karyawan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (7/5).

Menurutnya, lantaran tidak melalui sistem withholding atau pemotongan PPh Pasal 21 ini akan berdampak kepada kesulitan pengadministrasian perpajakan orang pribadi.

Fajry mengatakan, ada dua langkah yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor informal. Pertama, tindakan persuasi melalui sosialisasi yang lebih masif untuk menyasar subjek pajak tersebut.

Kedua, tindakan ekstensifikasi dengan penegakan hukum seperti melalui Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Apabila Otoritas Pajak tidak proaktif maka akan menyebabkan tingkat kepatuhan yang terus turun dan mencederai WP OP yang selama ini telah patuh.

"Namun di sisi lain, optimalisasi penerimaan pekerja informal tidak optimal dikarenakan basis PPh 21 yang kecil. Banyak pekerja sektor informal yang diberikan upah di bawah UMR," katanya.

Sementara itu, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan bahwa pekerja sektor informal dapat dipahami sebagai pengusaha mikro yang memiliki omzet di bawah Rp 2 miliar sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021.

Dalam ketentuan pajak, ada omzet yang tidak dikenai PPh yaitu Wajib Pajak yang memiliki usaha dengan omzet setahun kurang dari Rp 500 juta. Secara ketentuan, pekerja informal yang memiliki omzet setahun  masih di bawah Rp 500 juta juga tidak memiliki kewajiban perpajakan.

Baca Juga: Penerimaan Negara Seret, Hati-Hati Tambah Utang Baru

Dari sisi ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN), batasan omzet pengusaha kecil lebih tinggi lagi yakni pengusaha yang memiliki omzet setahun Rp 4,8 miliar atau lebih. Jika omzet setahun masih di bawah Rp 4,8 miliar maka tidak ada PPN yang harus dibayar.

"Dengan demikian, untuk penerimaan sektor informal tidak dapat diandalkan sebagai penerimaan pajak," terang Raden.

Tidak hanya itu, biasanya pengusaha sektor informal juga jarang menggunakan catatan dan rekening bank. Untuk itu, Raden bilang, kantor pajak akan mengalami kesulitan untuk mengenakan pajak walaupun petugas pajak menduga omzetnya sudah mencapai miliaran rupiah.

"Jika pemerintah ingin mengoptimalkan penerimaan pajak maka cara yang efektif adalah industrialisasi. Karena pengusaha besar sudah pasti memiliki pembukuan yang sesuai standar akuntansi dan memiliki rekening perbankan sehingga untuk pengawasan oleh Kantor Pajak lebih mudah," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari