KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kebutuhan akan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak bisa dihindari seiring meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan energi fosil. Sebagai produsen dan distributor migas, PT Pertamina (Persero) juga menyadari pentingnya menyediakan energi ramah lingkungan. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyampaikan, pada dasarnya Pertamina memiliki divisi Research & Technology Center untuk mengurus berbagai inovasi termasuk pengembangan energi terbarukan. Ketika inovasi tersebut akan masuk ke bisnis perusahaan, maka akan dianalisis terlebih dahulu melalui Divisi Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko. Baca Juga: Jika tak ada kesepakatan soal RDMP Cilacap, pemerintah tawarkan opsi ini bagi Aramco Saat ini Pertamina tengah fokus pada pengembangan EBT dalam bahan bakar nabati berupa pencampuran bahan bakar solar dengan minyak kelapa sawit sebanyak 20% atau B20 dan 30% atau B30 yang tidak lama lagi akan diimplementasikan. Fajriyah bilang, Pertamina sudah menyalurkan B20 melalui 111 terminal BBM dengan pencampuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) di 29 titik di Indonesia. "Penggunaan FAME sebagai bahan bakar nabati ke depan akan dapat menurunkan kebutuhan solar dalam skala nasional karena tergantikan oleh bahan bakar nabati yang terbarukan dan sumbernya banyak di Indonesia," ujar dia, Selasa (19/10) lalu. Pertamina juga bersiap untuk membantu implementasi B30 di Indonesia. Secara infrastruktur dan operasional, Pertamina sudah siap untuk uji coba B30 di 8 titik. Pelaksanaan tersebut tinggal menunggu instruksi atau regulasi dari pemerintah. Pastinya, program implementasi B20 maupun B30 dapat mengurangi ketergantungan terhadap solar, sehingga berdampak positif bagi cadangan devisa, neraca perdagangan, hingga penguatan rupiah. Baca Juga: Biosolar dan Pertamax, jadi idola di tol trans Sumatera Selain itu, Pertamina juga sejak lama mengembangkan energi geothermal atau panas bumi melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy. Sampai saat ini, Pertamina mengelola 14 wilayah kerja kuasa pengusahaan dan 2 wilayah kerja izin panas bumi. "Dari wilayah kerja tersebut, total kapasitas terpasang mencapai 1.877 Mega Watt (MW)," imbuh dia. Tak ketinggalan, Pertamina juga mengembangkan kilang hijau atau green refinery untuk mendukung peralihan menuju penggunaan energi ramah lingkungan. Green refinery ini berada di RU II Plaju. Kilang tersebut memanfaatkan mekanisme co-processing untuk pencampuran nabati dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga menghasilkan bio gasoline. Fajriyah menyebut, Pertamina masih akan berusaha mengembangkan proyek energi ramah lingkungan. Misalnya dengan membangun stand alone green alone. Untuk menggarap proyek tersebut, Pertamina bekerja sama dengan perusahaan migas asal Italia yaitu ENI S.p.A. "Saat ini masih proses tindak lanjut pembahasan kerjasama tersebut baik dari skema bisnis maupun porsi masing-masing pihak," ungkap dia.
Melongok langkah Pertamina mendorong peralihan menuju energi terbarukan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kebutuhan akan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak bisa dihindari seiring meningkatnya kesadaran masyarakat global terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan energi fosil. Sebagai produsen dan distributor migas, PT Pertamina (Persero) juga menyadari pentingnya menyediakan energi ramah lingkungan. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyampaikan, pada dasarnya Pertamina memiliki divisi Research & Technology Center untuk mengurus berbagai inovasi termasuk pengembangan energi terbarukan. Ketika inovasi tersebut akan masuk ke bisnis perusahaan, maka akan dianalisis terlebih dahulu melalui Divisi Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko. Baca Juga: Jika tak ada kesepakatan soal RDMP Cilacap, pemerintah tawarkan opsi ini bagi Aramco Saat ini Pertamina tengah fokus pada pengembangan EBT dalam bahan bakar nabati berupa pencampuran bahan bakar solar dengan minyak kelapa sawit sebanyak 20% atau B20 dan 30% atau B30 yang tidak lama lagi akan diimplementasikan. Fajriyah bilang, Pertamina sudah menyalurkan B20 melalui 111 terminal BBM dengan pencampuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) di 29 titik di Indonesia. "Penggunaan FAME sebagai bahan bakar nabati ke depan akan dapat menurunkan kebutuhan solar dalam skala nasional karena tergantikan oleh bahan bakar nabati yang terbarukan dan sumbernya banyak di Indonesia," ujar dia, Selasa (19/10) lalu. Pertamina juga bersiap untuk membantu implementasi B30 di Indonesia. Secara infrastruktur dan operasional, Pertamina sudah siap untuk uji coba B30 di 8 titik. Pelaksanaan tersebut tinggal menunggu instruksi atau regulasi dari pemerintah. Pastinya, program implementasi B20 maupun B30 dapat mengurangi ketergantungan terhadap solar, sehingga berdampak positif bagi cadangan devisa, neraca perdagangan, hingga penguatan rupiah. Baca Juga: Biosolar dan Pertamax, jadi idola di tol trans Sumatera Selain itu, Pertamina juga sejak lama mengembangkan energi geothermal atau panas bumi melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy. Sampai saat ini, Pertamina mengelola 14 wilayah kerja kuasa pengusahaan dan 2 wilayah kerja izin panas bumi. "Dari wilayah kerja tersebut, total kapasitas terpasang mencapai 1.877 Mega Watt (MW)," imbuh dia. Tak ketinggalan, Pertamina juga mengembangkan kilang hijau atau green refinery untuk mendukung peralihan menuju penggunaan energi ramah lingkungan. Green refinery ini berada di RU II Plaju. Kilang tersebut memanfaatkan mekanisme co-processing untuk pencampuran nabati dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga menghasilkan bio gasoline. Fajriyah menyebut, Pertamina masih akan berusaha mengembangkan proyek energi ramah lingkungan. Misalnya dengan membangun stand alone green alone. Untuk menggarap proyek tersebut, Pertamina bekerja sama dengan perusahaan migas asal Italia yaitu ENI S.p.A. "Saat ini masih proses tindak lanjut pembahasan kerjasama tersebut baik dari skema bisnis maupun porsi masing-masing pihak," ungkap dia.