KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Karbon masih dihadapkan sejumlah tantangan besar menjelang peluncurannya di September 2023. Perusahaan-perusahaan sebagai pilar utama implementasi bursa karbon belum banyak menaruh perhatian terhadap isu ini. Seperti diketahui, Bursa Karbon akan segera diresmikan pada bulan September 2023. Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon pada Kamis, (3/8). Inisiatif meluncurkan Bursa Karbon sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris untuk mereduksi lebih banyak emisi gas rumah kaca (GRK). Hanya saja, perdagangan bursa karbon belum dilengkapi oleh ekosistem yang jelas utamanya kehadiran perusahaan-perusahaan yang menghasilkan karbon dioksida (Co2).
Country General Council, MetaVerse Green Exchange (MVGX), Charya Rabindra Lukman mencermati bahwa perusahaan masih belum banyak menaruh perhatian terhadap bursa karbon karena tidak melihat sisi manfaat yang bisa diterima. Langkah mengurangi karbon utamanya memberikan manfaat bagi negara, tapi sedikit bagi perusahaan. “Apa gunanya pengurangan karbon bagi perusahaan, kalau cuma untuk
branding,” kata Charya, Kamis (3/8).
Baca Juga: OJK Targetkan Penghimpunan Dana di Pasar Modal Tembus Rp 200 Triliun pada 2023 Perdagangan karbon adalah mekanisme pasar yang dimaksudkan untuk membatasi emisi gas rumah kaca. Bursa karbon akan membatasi jumlah emisi yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika melebihi batas tersebut dapat membeli izin dari pihak lain. Charya menilai, perusahaan belum banyak memahami dan menyadari terkait betapa pentingnya bursa karbon. Di samping itu, perusahaan mengharapkan adanya insentif dalam langkah mengurangi lebih banyak karbon. Oleh karena itu, menurut Charya pendekatan yang tepat bagi perusahaan agar tertarik pada bursa karbon adalah menyadari pentingnya efisiensi untuk mengurangi CO2. Dampak dari langkah efisiensi pada akhirnya akan berbalik kepada perusahaan itu sendiri, salah satunya bisa meraup kinerja keuangan yang lebih optimal. OJK menargetkan Bursa Karbon tahap awal akan diramaikan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di tahun ini. Adapun PLTU yang ikut dalam perdagangan karbon adalah PLTU di atas 100 Megawatt, dan 2024 di atas 50 Megawatt, kemudian diharapkan seluruh PLTU dan PLTG akan masuk pasar karbon pada 2025.
Baca Juga: Perusahaan Tambang Mulai Kurangi Emisi untuk Persiapan Perdagangan Karbon Selain itu, tantangan dari implementasi bursa karbon adalah transparansi dari pemenuhan akan aspek keberlanjutan. Perlu adanya transparansi, apakah perusahaan benar-benar telah menunaikan langkahnya dalam mengurangi karbon dioksida sehingga mendapatkan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPI). Charya menambahkan, aspek pemenuhan indikator ESG juga harus diperjelas, apakah perusahaan sudah menerapkan
green initiative ataupun
green investment. Sebab, kegiatan yang tidak berkaitan langsung dengan aspek penghijauan seperti CSR bisa dimaknai telah memenuhi syarat dalam memenuhi indikator ESG. Dengan demikian, bisa menciptakan perdagangan karbon yang sehat agar tidak terkesan
greenwashing yakni perusahaan seolah-olah mengurangi tetapi sebenarnya masih menyumbangkan karbon secara besar-besaran. Tetapi, Charya menilai potensi ini sepertinya sudah dimitigasi oleh pemerintah yang akan menerapkan blockchain dalam perdagangan bursa karbon.
Baca Juga: Luhut: Carbon Exchange Akan Diluncurkan pada September 2023 Walaupun dibentuk dalam keadaan yang belum begitu sempurna, Charya melihat kehadiran bursa karbon tetap penting disegerakan untuk menjadi pemantik bagi terciptanya ekosistem perdagangan karbon dan bakal terintegrasi dengan aturan pajak karbon nantinya. Proses membentuk bursa karbon yang ideal setidaknya membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, apabila berkaca pada China yang lebih dulu menerapkan perdagangan karbon.
Sejauh ini, penyelenggara bursa karbon juga belum ditunjuk oleh OJK untuk dapat memfasilitasi perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri. Bentuk badan usaha penyelenggara merupakan perseroan terbatas yang memiliki izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari OJK. Adapun MetaVerse Green Exchange (MVGX) mengembangkan sistem pertukaran karbon berbasis blockchain. Sistem ini akan dikembangkan di pasar Indonesia yang telah dikembangkan di negara lain seperti Singapura dan China. MVGX adalah penyedia jasa
digital green pertukaran berlisensi dan diatur oleh Monetary Authority of Singapore (MAS). Perusahaan teknologi finansial ini menyediakan solusi
carbon as a service end to end, mulai dari edukasi terkait bursa karbon hingga mendapatkan dana investasi dari keikutsertaan dalam bursa karbon. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati