Memacu biofuel B100



Terseok-seok di masa-masa awal, kini program bahan bakar nabati mampu berjalan tegak. Hingga akhir tahun lalu, pemerintah berhasil menerapkan B20, biofuel dengan kandungan 20% hasil olahan CPO untuk seluruh kendaraan berbahan bakar diesel.

Tahun ini, jalan lebar pun dibentangkan dengan mematok B30; lalu terus melaju hingga B100. Kelak Indonesia sepenuh hati memanfaatkan energi hijau terbarukan berupa green diesel dari kelapa sawit.

Bisakah? Pemerintah tentu optimistis. Apalagi keyakinan itu juga didukung para pengusaha perkebunan sawit dan Pertamina. Dengan luas lahan 14 juta hektare, panenan sawit bisa dilecut hingga 56 juta ton. Sebanyak 30 juta ton untuk produksi B100, sisanya 10 juta ton untuk bahan pangan dalam negeri. Sedangkan 10 juta ton lagi bisa diekspor.


Buat pengusaha, adanya kewajiban memasok CPO sebagai bahan baku biodiesel malah jadi penyelamat. Maklum, banyak negara maju memasang aneka rintangan dagang, sementara harga pun kerap anjlok. Bila pun harga bergejolak, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) yang mengelola dana pungutan sawit bisa membayar selisih harga solar dan biodiesel.

Begitu halnya Pertamina memburu tercapainya energi hijau ini. Berkat B20 saja, kebutuhan valas untuk membeli minyak kontraktor (KKKS) maupun impor crude dan BBM turun lumayan besar. Pertamina sudah menyiapkan teknologi, antara lain hydrorefining, untuk memproduksi B100 yang lebih andal ketimbang B20. Untuk itu, holding BUMN migas ini serius membangun tiga kilang di Plaju, Dumai, dan Balikpapan yang salah produknya berupa bahan bakar ramah lingkungan.

Hanya, tak dapat dipungkiri program energi hijau ini punya ekses terutama ke neraca perdagangan. Begini. Saat ini Pertamina mendapat prioritas untuk membeli minyak KKKS, yang biasanya diekspor. Dus, kilangnya yang berkapasitas total 1 juta barel per hari bisa dimaksimalkan untuk menyuling minyak dari KKKS, jatah pemerintah, produksi Pertamina dari dalam maupun luar negeri. Di satu sisi ini akan mengurangi impor minyak, namun di sisi lain mengurangi ekspor (dari KKKS). Bahkan minyak dari lapangan Pertamina di luar negeri dihitung sebagai impor pula. Alokasi CPO sebagai komoditas andalan untuk B100 pun jelas menekan angka ekspor bila tak ada upaya menambalnya.

Terbayanglah risiko membesarnya defisit neraca dagang. Hanya, tak apalah neraca dagang buruk, asal ekonomi riilnya selamat.♦

Ardian Taufik Gesuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi