Memahat batu, mengukir kayu (3)



Meniti Jalan Raya Kayuambua di Desa Tiga, Susut, Bangli, Bali, Anda dapat menemukan toko-toko yang menjual beragam hasil kerajinan batu. Produknya terdiri dari patung, gapura, candi, serta berbagai properti untuk melengkapi tatanan khas Bali. Toko-Toko kerajinan batu di Desa Tiga umumnya disertai dengan rumah produksi.

Seperti toko milik Satya yang menjual patung. KONTAN pun diajak berkeliling ke rumah produksi yang berada sekitar 100 meter di belakang toko. “Sekarang produksinya di sini, tiap hari dari jam delapan sampai jam lima,” jelas Satya.

Sedikit menengok ke belakang, toko ini dirintis oleh suami Satya pada 1997. Saat itu, suaminya baru lulus dari sekolah menengah kejuruan, langsung terjun menjadi perajin dan mendirikan toko sendiri.


Menurut Satya, keahlian mematung didapat suaminya dari bangku sekolah. “Dia kan sekolah mematung, jadi dia memang bisa. Usaha ini tidak diturunkan, ini dibangun sendiri,” ujar Satya.

Saat pertama kali mendirikan usaha kerajinan batu ini, Satya bilang, belum banyak perajin serupa di Desa Tiga. Namun, kian hari jumlah perajin makin bertambah. Produknya juga kian banyak.

Memang, bisnis patung ini cukup menggoda. Satya misalnya, dalam sebulan bisa meraup omzet sekitar Rp 20 juta. Di rumah produksinya, Satya mempekerjakan tujuh karyawan tetap. “Di daerah sini banyak perajin, yang bekerja borongan juga banyak,” ujar dia.

Tak heran, masih banyak generasi muda yang masih mau menjadi pematung atau menekuni bisnis kerajinan batu. Satya bilang, pekerja di rumah produksinya masih banyak yang berusia muda. “Ada yang anak muda juga, memang sampai sekarang usaha kerajinan batu ini masih diteruskan,” jelas Satya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh pemilik toko kerajinan batu lain, yakni Wayan Widanta. Wayan bilang, hampir setengah masyarakat desa mencari uang dengan menekuni kerajinan batu. “Kalau mau cari tukang waktu ada orderan itu gak susah. Disini merata bikin gini semua,” ucap Wayan.

Wayan sendiri tidak merekrut karyawan tetap. Setiap akan melakukan produksi, ia selalu membayar perajin secara borongan. Hasil produksinya berupa candi, sanggah, dan gapura. “Kalau borongan itui paling kecil mereka dapat Rp 150.000 per satunya, tapi sekali bikin biasanya satu orang kan langsung tiga unit,” jelas dia.

Di sisi lain, makin banyaknya jumlah pelaku usaha, makin ketat pula persaingan. Meski produknya berbeda-beda, Wayan sendiri masih kewalahan hadapi persaingan. Terlebih jika memasuki musim sepi, ia mengaku bisa banting harga agar bisa pikat konsumen. “Kalau ramainya itu biasanya bulan Juni atau setelah Haria Raya Galungan,” ujar Wayan.

Kendala lain yang dirasakan Wayan adalah soal bahan baku. Untuk membuat kerajinan batu, dibutuhkan jenis pasir yang khusus. “Bukan pasir biasa, tapi lebih ke model tanah. Pasirnya itu kan ambil di jurang. Sekarang itu susah nyarinya,” tutur Wayan.                

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.