KONTAN.CO.ID - Kalau kita menengok ke belakang sejenak, masih terngiang dalam ingatan, sepanjang 2018 hingga menjelang pemilu dan pilpres, isu utang terus menggelinding bagai bola salju. Sebagian masyarakat berpandangan, utang kita tetap aman dan terkendali. Sementara sebagian lainnya menilai kondisi utang membahayakan. Fenomena itu tentunya tidak ada yang salah sepanjang dilengkapi argumen, bukan dilatarbelakangi sentimen.Tentunya, kita tidak bisa memaksakan satu pandangan bisa diterima satu sama lain karena terkadang masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda. Untuk itu, kita perlu menarik polemik utang dalam sebuah diskusi dengan mengedepankan prinsip rasionalitas, objektifitas ,dan pendekatan yang holistik. Ada tiga pertanyaan besar tentang utang yang perlu dijelaskan. Yakni, bagaimana memaknai utang, kenapa kita perlu utang, dan bagaimana posisi utang kita saat ini.Untuk memaknai utang secara lebih dalam, kita perlu membuka cakrawala berpikir secara lebih komprehensif dan holistik. Kebijakan utang bukanlah policy yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan makro fiskal yang lebih luas. Dalam konteks ini, tentu kebijakan utang sangat tergantung dari kebijakan yang ditempuh pada level makro fiskal, bagaimana arah dan strategi yang ditempuh pemerintah dalam merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan, serta mendukung pencapaian target pembangunan. Ketika kondisi ruang fiskal yang belum sepenuhnya memadai, sementara pemerintah menetapkan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk menstimulasi perekonomian, utang harus dimaknai sebagai instrumen untuk menstimulasi dan menghadirkan kesejahteraan di tengah keterbatasan. Sejatinya, antara utang, penerimaan perpajakan, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah sama, yaitu sama-sama instrumen pendanaan untuk menopang kebijakan fiskal. Sama-sama punya potensi sebagai energi pendorong stimulus dan sama-sama punya risiko yang harus dimitigasi. Secara umum, filosofi utang mempunyai dua sisi, yaitu bisa menjadi potensi atau menimbulkan risiko tergantung sumber dan pemanfaatannya. Bila utang bersumber dari pembiayaan yang efisien, risiko dan cost of borrowing-nya rendah, tenornya fleksibel, serta untuk kegiatan produktif, maka utang bisa menjadi potensi untuk akselerasi menuju kesejahteraan. Sebaliknya, jika utang bersumber dari pembiayaan yang ketat, cost of borrowing-nya kurang efisien, dan pemanfaatannya kurang produktif, tentu utang tersebut menjadi risiko bukan hanya bagi generasi saat ini tetapi beban di masa mendatang.Mengejar ketertinggalanFakta menunjukan, bahwa kemampuan menghimpun pendapatan negara masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Penerimaan perpajakan saat commodity boom era 2008 bisa mencapai 12% dari produk domestik bruto (PDB). Tapi, saat ini tinggal 10% saja. Begitu pula PNBP yang bisa 5%6% dari PDB di 2008, kini tinggal 2,1%2,6% saja dari PDB.
Memaknai Utang untuk Kesejahteraan
KONTAN.CO.ID - Kalau kita menengok ke belakang sejenak, masih terngiang dalam ingatan, sepanjang 2018 hingga menjelang pemilu dan pilpres, isu utang terus menggelinding bagai bola salju. Sebagian masyarakat berpandangan, utang kita tetap aman dan terkendali. Sementara sebagian lainnya menilai kondisi utang membahayakan. Fenomena itu tentunya tidak ada yang salah sepanjang dilengkapi argumen, bukan dilatarbelakangi sentimen.Tentunya, kita tidak bisa memaksakan satu pandangan bisa diterima satu sama lain karena terkadang masing-masing mempunyai perspektif yang berbeda. Untuk itu, kita perlu menarik polemik utang dalam sebuah diskusi dengan mengedepankan prinsip rasionalitas, objektifitas ,dan pendekatan yang holistik. Ada tiga pertanyaan besar tentang utang yang perlu dijelaskan. Yakni, bagaimana memaknai utang, kenapa kita perlu utang, dan bagaimana posisi utang kita saat ini.Untuk memaknai utang secara lebih dalam, kita perlu membuka cakrawala berpikir secara lebih komprehensif dan holistik. Kebijakan utang bukanlah policy yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan makro fiskal yang lebih luas. Dalam konteks ini, tentu kebijakan utang sangat tergantung dari kebijakan yang ditempuh pada level makro fiskal, bagaimana arah dan strategi yang ditempuh pemerintah dalam merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan, serta mendukung pencapaian target pembangunan. Ketika kondisi ruang fiskal yang belum sepenuhnya memadai, sementara pemerintah menetapkan kebijakan fiskal yang ekspansif untuk menstimulasi perekonomian, utang harus dimaknai sebagai instrumen untuk menstimulasi dan menghadirkan kesejahteraan di tengah keterbatasan. Sejatinya, antara utang, penerimaan perpajakan, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) adalah sama, yaitu sama-sama instrumen pendanaan untuk menopang kebijakan fiskal. Sama-sama punya potensi sebagai energi pendorong stimulus dan sama-sama punya risiko yang harus dimitigasi. Secara umum, filosofi utang mempunyai dua sisi, yaitu bisa menjadi potensi atau menimbulkan risiko tergantung sumber dan pemanfaatannya. Bila utang bersumber dari pembiayaan yang efisien, risiko dan cost of borrowing-nya rendah, tenornya fleksibel, serta untuk kegiatan produktif, maka utang bisa menjadi potensi untuk akselerasi menuju kesejahteraan. Sebaliknya, jika utang bersumber dari pembiayaan yang ketat, cost of borrowing-nya kurang efisien, dan pemanfaatannya kurang produktif, tentu utang tersebut menjadi risiko bukan hanya bagi generasi saat ini tetapi beban di masa mendatang.Mengejar ketertinggalanFakta menunjukan, bahwa kemampuan menghimpun pendapatan negara masih menghadapi tantangan yang cukup berat. Penerimaan perpajakan saat commodity boom era 2008 bisa mencapai 12% dari produk domestik bruto (PDB). Tapi, saat ini tinggal 10% saja. Begitu pula PNBP yang bisa 5%6% dari PDB di 2008, kini tinggal 2,1%2,6% saja dari PDB.