Memandu pebisnis masuk dunia maya



KONTAN.CO.ID - Suka atau tidak, para pebisnis konvensional harus bersiap melawan bisnis digital yang makin lama semakin menggurita. Apabila tidak segera melakukan transformasi bisnis ke sektor digital, seperti masuk ke pasar online, bisnis yang dilakoni hanya berbekal model konvensional boleh jadi tinggal nama saja.

Tak heran bila banyak pebisnis konvensional yang berbondong-bondong mulai masuk ke pasar online atau e-commerce. Dengan harapan, bisa menemukan pasar baru yang lebih menjanjikan.

Fakta itulah yang dilihat Feedr sebagai peluang bisnis. Perusahaan lokal ini ingin membangun (enabler) ekosistem digital di Indonesia. Apalagi, jumlah pebisnis yang betul-betul terjun ke bisnis online masih sedikit.


Menurut perhitungan Hadi Kuncoro, Chief Executive Officer (CEO) Feedr Indonesia, perusahaan yang melek teknologi informasi yang beralih ke bisnis online baru sekitar 10% dari total perusahaan yang ada. Ini masih belum ditambah dengan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Ia mendirikan Feedr Indonesia sejak September 2017. Pengalaman sebagai CEO aCommerce Indonesia dan Direktur Operasi Zalora membuatnya jadi paham mengenai ekosistem e-commerce yang dibutuhkan oleh para pebisnis. Ia pun mengembangkan Feedr Indonesia ke dalam tiga lini bisnis.

Pertama, membantu perusahaan mentransformasi bisnis ke arah digital. Mulai dari mendesain model bisnis online, teknologi digital, hingga mencari karyawan dan pebisnis digital.

Khusus yang terakhir, Feedr Indonesia mempunyai Feedr Academy. Ini adalah pusat pelatihan untuk mendapatkan  pelaku digital yang kompeten. Menurut Hadi, keberadaan pebisnis digital yang mumpuni bisa membuat laju pengembangan digital sebuah perusahaan berlangsung mulus.

Layanan Feedr Academy terdiri dari pelatihan, sertifikasi hingga talent pool. Pelatihan biasanya memuat soal peluang memanfaatkan perubahan bisnis digital dan para peserta bisa umum atau perusahaan.

Sedangkan program sertifikasi adalah program tiga bulan untuk menyiapkan bagian digital sebuah perusahaan. Ada dua opsi, Feedr yang mencari dan melatih orang di bagian digital, atau klien yang menitipkan calon tenaga digital online ke mereka. Sedangkan talent pool berisi data calon ahli digital marketing yang bisa dimanfaatkan perusahaan.

Kedua, adalah melakukan penetrasi pasar lebih dalam lewat merek, jaringan ritel dan distribusi. Biasanya caranya adalah lewat pemasaran online, offline, atau omnichannel yakni menyatukan layanan online dan offline dalam satu  platform.

Heru mencontohkan, salah satu klien yakni perancang Ivan Gunawan yang mengembangkan bisnis pakaian hijab dengan label Mandjha. Saat ini, Mandjha memiliki tujuh gerai. Nah, Feedr membantu Mandjha masuk pasar online.

Feedr langsung memasarkan produk Mandjha ke seluruh pasar digital yang sudah bekerjasama dengan Feedr. Saat ini, Feedr sudah menjalin kerjasama dengan 24 pasar e-commerce di tujuh negara. Salah satunya adalah Zalora, Tokopedia, Lazada, Blibli, Shopee, Redmart, dan Flipcart.

Nah. Feedr akan mengelola label itu untuk bisa masuk ke ranah online. Agar dapat mengoptimalkan layanan ini, Feedr telah memiliki layanan pendukung berupa social commerce. "Followers Ivan Gunawan berjumlah jutaan di sosial media. Tapi mereka tidak langsung order. Harus lewat Whats app atau menelepon. Biasanya orang yang hendak belanja diberi tautan toko online," papar Hadi.

Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan ini memakai fitur Feedr Chat dan Feedr Shop yang membuat pelanggan bisa memilih, membayar, hingga memilih kurir. Tanpa perlu telepon atau keluar akun media sosial seperti Facebook. "Kami memakai teknologi ChatBot. Teknologi inilah yang ditawarkan ke pasar," tuturnya.

Teknologi ekosistem e-commerce lain yang Feedr tawarkan adalah Feedr Work.  Teknologi ini memungkikan mitra bisa menjadi reseller produk tertentu, seperti Mandjha. Nah, yang enak, para penjual (reseller), tidak perlu pusing memikirkan stok barang atau perlu gudang untuk menampung barang dagangan. Sebab semau urusan tersebut sudah Feedr atur sedemikian rupa.

Hadi memastikan bahwa  penjual yang berhasil menjajakan produk dagangan langsung mendapatkan bayaran dalam betuk komisi. Sayang ia tidak merinci besaran komisi tersebut.

Salah satu klien yang sudah memanfaatkan layanan Feedr Work tersebut adalah Rumah Sajadah. Saat ini, produk dari Rumah Sajadah sudah bisa masuk Singapura dan Malaysia.

Namun, apabila ada klien yang butuh layanan laiknya perusahaan e-commerce pada umumnya, Feedr punya layanan demand fulfillment service. Layanan ini biasanya diambil klien yang punya orderan besar dan membutuhkan fasilitas gudang serta dalam proses pengiriman barangnya.

Saat ini, Feedr Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan 19 perusahaan pengiriman lokal dan internasional. Seperti JNE, JNT, Pos Indonesia, DHL, atau FedEx.

Kerjasama dengan perusahaan logistik internasonal memang sengaja dipilih  Feedr. Tujuannya agar memudahkan pengiriman  produk lokal yang ingin masuk pasar global. Ia mengklaim, produk fesyen dan kerajinan tangan sudah bisa diekspor lewat Feedr.

Terkait gudang, Feedr rupanya tidak melakukan investasi pada fisik gudang, tapi sebagai perantara pihak yang membutuhkan gudang dengan perusahaan. Sejauh ini ada banyak gudang yang kosong. Tapi di sisi lain banyak UMKM yang butuh gudang untuk bisa melayani orderan yang makin banyak.

Di sinilah peran Feedr sebagai perantara kedua pasar terebut. Saat ini, Feedr sudah menjalin kerjasama dengan dua pebisis properti pergudangan. Lagi-lagi Hadi tidak mengungkap identitas dari perusahaan tersebut.

Tak cuma gudang, Feedr juga bisa mencari pasar bagi perusahaan yang kesulitan mencari tenaga kerja bagian produksi. "Misalnya yang membutuhkan tukang jahit akan kami hubungkan dengan pabrik garmen bidang fesyen. Kami sudah bekerjasama dengan jasakonveksi.com" tutur Hadi.

Untuk mengembangkan Feedr Indonesia, Hadi dibantu beberapa koleganya. Seperti Riyeke Ustadiyanto (CTO), pendiri MarketBiz dan iPaymu. Kemudian, Budi Handoko (COO) yang menjadi pendiri Shipper.id. Serta Subiakto Priosoedarsono sebagai komisaris.

Tak heran bila sistem pembayaran Feedr memakai iPaymu yang bisa memberikan sistem komisi langsung bagi reseller Feedr. Sejauh ini, kata Hadi, iPaymu bisa melakukan transaksi seperti   bank transfer, kartu kredit, internet banking, hingga cash on delivery (COD).

Hadi belum memutuskan apakah bakal membuka fasilitas e-wallet atau tidak. Sebab fasilitas ini perlu izin dan wajib ada di layanan marketpalece reseller.

Meski start up ini baru berjalan kurang dari satu tahun, Hadi mengklaim pertumbuhan bisnisnya terbilang tokcer. Dari periode September-Desember 2017, pertumbuhan bisnis Feedr sudah lima kali lipat. Ia pun berharap pada tahun ini bisa menggaet lebih banyak lagi klien perusahaan besar.

Sejauh ini tercatat ada beberapa klien Feedr, selain Mandjha, ada juga Wardah, serta Unilever Indonesia. Sedangkan untuk UMKM, Feedr memilih UKM yang sudah siap untuk naik kelas ke tahap bisnis selanjutnya. Sayang, Hadi tidak merinci jumlah klien UMKM.  

Ia juga tidak merinci soal proyeksi pertumbuhan bisnis sepanjang tahun ini. Namun jika mendapat klien besar lebih banyak lagi, pertumbuhan bisnis yang bisa terjadi di akhir tahun ini bisa lebih tinggi dari akhir tahun lalu.

Dari sisi permodalan, sejauh ini, Feedr masih memanfaatkan kocek internal. Heru hanya menyebut nilainya miliaran rupiah.

Nah, ia targetkan untuk tahun ini bisa mendapatkan suntikan modal dari para investor. Hadi mengaku saat ini sudah ada delapan investor yang tengah menjajaki kerjasama dengan Feedr. Ia  bakal selektif dalam memilih investor. "Kami ingin bermitra dengan investor strategis yang bisa membangun Feedr," harapnya.       

Lebih baik menyasar pasar kalangan UKM

Pengamat ekonomi digital dari Indonesia Information and Communication Technology (ICT), Heru Sutadi menilai keberadaan Feedr Indonesia menjadi solusi bagi para pebisnis yang takut-takut mengembangkan e-commerce. Ini berarti keberadaan Feedr Indonesia bisa melengkapi ekosistem e-commerce.

Misalnya, ada perusahaan yang belum punya fasilitas e-commerce yang lain, seperti dari sisi pembayaran, logistik hingga ke situs belanja. Termasuk juga dari sisi fasilitas  pergudangan.   

Namun saat ini sudah banyak perusahaan yang mempunyai situs online sendiri. Kalaupun ada tawaran dari Feedr yang menyediakan pergudangan, lagi-lagi ia nilai banyak perusahaan yang ingin terjun ke bisnis online tidak butuh tempat penyimpanan barang alias gudang.

Alasannya sederhana. Para pebisnis tersebut biasanya juga sudah punya gudang penyimpanan. "Memang kebanyakan brand sudah memiliki e-store sendiri. Namun tidak semua brand membutuhkan gudang karena mereka juga main di offline," ungkap Heru kepada KONTAN.

Heru menyatakan, apabila Feedr Indonesia ingin maju dan menjadi perusahaan pengembangan e-commerce nomor satu di Indonesia, perusahaan ini perlu memperluas dan mengoptimalkan pasar yang lain. Yakni jangan fokus mengincar perusahaan besar, yang jadi target dari Feedr, tapi justru lebih mengoptimalkan target pasar ke usaha kecil menegah (UKM).

Menurutnya, pasar UKM di Indonesia masih sangat besar. Apalagi jumlah pebisnis kecil dan menengah lebih banyak dari perusahaan besar. Sudah begitu, sebagian besar pebisnis UKM tersebut masih belum punya toko online. Inilah kesempatan yang bisa Feedr tangkap saat ini. Apalagi perusahaan ini punya beberapa perangkat yang bisa mewujudkan hal tersebut, seperti Feedr Academy yang bisa mengoptimalkan bisnis online para UKM.

Terkait gudang, Heru sarankan Feedr bisa menjalin kerjasama dengan  platform e-commerce non pasar digital lantaran kebutuhan gudang dibutuhkan perusahaan tersebut. "Selain itu, harus menawarkan bukan cuma gudang tapi complete solution seperti packaging," saran Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.