Di kalangan korporasi, terutama korporasi transnasional, big data sudah menjadi teknologi mainstream untuk mendukung keseluruhan proses bisnis mereka. Pertanyaan yang menggelitik adalah, apakah maha data hanya berguna untuk organisasi sekelas korporasi? Apakah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mendapatkan manfaat dari kehadiran fakta digital itu? Bagaimana caranya? Dalam jejaring internet global tersimpan begitu banyak data dan informasi. Pada tahun 2012 setiap hari tersimpan 2,5 exabyte data (2,5 x 10 pangkat 18). Pada 2013 jumlah data di jejaring maya mencapai 4,4 zettabyte (10 pangkat 21), dan pada 2020 diperkirakan akan mencapai 44 zettabyte. Data itu sedemikian besar dan semakin kompleks sehingga tidak bisa kita tangani dengan piranti lunak pengolah data rumahan yang kita miliki sekarang ini. Apalagi data tersebut tersebar secara tak beraturan (unstructured) di berbagai tempat. Bagi individu per individu, bisa dikatakan sebagian besar data itu adalah sampah, yang tidak memiliki relevansi apapun dengan hidup seorang individu. Tetapi di antara sampah maha data itu ada sejumlah data yang bisa sangat berguna. Sebab data itu ibarat debu emas di tempat pembuangan akhir sampah. Jika Anda bisa mengumpulkannya, debu emas itu akan menjadi emas batangan yang amat sangat berguna.
Demikian halnya dengan data tersebut. Jika kita bisa memilih dan memilah, maka kita bisa mendapatkan banyak sekali data yang sangat bermanfaat, terutama untuk bisnis. Kalangan korporasi sudah melakukan penambangan data ini secara serius. Mereka menambang, menganalisis, dan mencari makna (insight) dari data yang mereka peroleh. Mereka melakukan itu karena sadar betul betapa pentingnya data bagi pengembangan bisnis yang dijalankan. Misalnya saja, mereka membutuhkan data pasti siapa pelanggan mereka. Seberapa loyal mereka sebagai pelanggan. Apa yang membuat mereka loyal sebagai pelanggan, bagaimana penyebarannya secara geografis. Bagaimana penyebaran usianya. Lantas siapa kompetitor. Seberapa tangguh para kompetitornya, dan sebagainya. Di era maha data ini, data seperti itu mungkin diperoleh, asalkan tahu di mana dan bagaimana menambangnya. Teknologi penambangan Kabar baiknya adalah teknologi penambangan data sudah tersedia. Dengan harga yang bervariasi. Dari yang mahal sampai yang murah. Bahkan sampai yang gratisan. Dasar dari teknologi ini adalah pemrograman, yang membutuhkan kemahiran bahasa komputer (coding). Tetapi dalam dunia teknologi informasi selalu saja ada pihak yang berusaha membuat versi yang lebih mudah, untuk membantu mereka yang tidak memahami coding. Mereka menyediakan aplikasi-aplikasi yang siap pakai. Silakan berburu di mesin pencari, misalnya dengan kata kunci data mining tools atau data mining. Anda akan menemukan puluhan bahkan ratusan aplikasi yang bisa membantu. Dengan aneka aplikasi itu Anda bisa menambang data, membersihkannya, dan kemudian menyimpannya dalam format spreadsheet seperti Microsoft Excell dan sejenisnya. Dengan data yang sudah ditabulasikan itu, kita bisa menampilkan dalam berbagai bentuk grafis yang memudahkan kita menangkap makna di balik data tersebut. Persisnya di mana data itu bisa ditambang? Tidakkah menambang data adalah pelanggaran etika? Banyak media sosial yang membuka diri untuk ditambang. Facebook, Instagram, Twitter, dan Snapchat, misalnya, menyediakan application programming interface (API). Dengan API seorang pengguna bisa mengorder data yang ada di dalam media sosial tersebut. Kita bisa mengambil semua data yang diizinkan atau dibuka oleh pemiliknya. Pendek kata, semua data yang bisa dilihat orang di laman media sosial adalah data yang sah untuk diambil, karena sudah dibuka oleh pemiliknya. Tempat lain yang mungkin untuk ditambang datanya adalah situs-situs marketplace seperti Amazon, Alibaba, Ebay, Shopify, dan sebagainya. Situs-situs seperti ini selaku menata database-nya sedemikian rupa sehingga memudahkan pengunjung melihat isinya dari berbagai sudut. Orang bisa melihat isi marketplace berdasarkan kategori produk, kategori merek, kategori produsen, nama pelapak, kategori harga, dan sebagainya. Artinya, di sana tersedia data yang oleh pemilik marketplace memang dibuka untuk pengunjung. Bahkan ada marketplace yang menyajikan menu untuk membanding-bandingkan fitur produk dan harga. Artinya, pemilik data sudah mengizinkan pengunjung untuk ngoprek data mereka. Dengan menggunakan bahasa pemrograman atau aplikasi tertentu, pelaku bisnis, termasuk UMKM, bisa menambang data tersebut untuk dipelajari dan digunakan demi pengembangan bisnis. Tapi jangan salah, media sosial dan marketplace hanyalah sebagian dari tempat-tempat yang mungkin ditambang datanya. Masih banyak tempat lain yang berlimpah dengan data, yang bisa sangat membantu pelaku bisnis untuk mengoptimalkan kinerja bisnisnya. Dalam keberlimpahan data seperti itu, tentu ada ragam tantangan yang perlu diperhatikan.
Tantangan yang pertama adalah ada pada si pelaku bisnis yang bersangkutan. Apakah mereka menyadari perlunya data. Lantas data seperti apa yang dibutuhkan dan relevan untuk bisnisnya? Bagaimana dia mendefinisikan kebutuhan itu dalam kata-kata kunci, sehingga pada akhirnya bisa memudahkan pencarian. Tantangan berikutnya adalah tantangan teknologi. Benar bahwa di pasaran sudah tersedia banyak aplikasi dan teknologi tepat guna yang siap pakai. Tetapi harus diakui bahwa di jagad digital sebagian besar masyarakat kita baru bisa saling mengirim WhatsApp, mengakses Facebook, atau Instagram. Perlu ada pihak yang membantu agar mereka bisa memanfaatkan smartphone dan komputer secara lebih mendalam lagi. Pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat bisa mengambil peran lebih aktif l lagi untuk membantu UMKM, terutama yang mikro dan kecil. Agar mereka bisa juga ikut menikmati teknologi demi pengembangan usaha mereka.•
Felicia Barus Faculty Member Bank Indonesia Institute Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi