Selama sebulan terakhir, pasar keuangan di negara berkembang (
emerging market), termasuk Indonesia, menikmati aliran modal asing yang sangat besar. Hitungan kami, inflows investor asing tercatat masing-masing Rp 34 triliun dan Rp 9 triliun di pasar obligasi dan saham Indonesia sepanjang November lalu. Hasilnya positif, IHSG naik 3,9% ke 6.056 dan yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun 67,5 bps sepanjang periode yang sama. Rupiah juga menguat 5,9% ke Rp 14.302 per dollar AS. Padahal hingga akhir Oktober, IHSG terkoreksi 8,2%, yield obligasi naik 222 bps, dan rupiah melemah 12% jika masing-masing dibandingkan akhir Desember 2017. Lantas, apa yang membuat kembalinya capital flows ke emerging market termasuk Indonesia? Kami meyakini beberapa risiko global yang lebih dapat diukur menjadi faktor pendorong utama. Namun khusus di Indonesia, respons kebijakan fiskal dan moneter yang tepat sangat mempengaruhi appetite investor untuk percaya diri masuk Indonesia.
Beberapa faktor ekonomi global yang dapat diukur adalah kemungkinan kesepakatan menunda pengenaan tarif yang dapat mencegah pelemahan lebih dalam ekonomi AS dan China. Pemulihan ekonomi AS saat ini memang cukup nyata. Namun kecemasan utama adalah pertumbuhan ekonomi AS akan melambat menjadi hanya 1,8% (proyeksi IMF). Faktor lain yang mendorong risk appetite adalah sinyal kenaikan bunga acuan The Fed yang lebih landai dibandingkan estimasi awal. Dari dalam negeri, tantangan ekonomi masih ada terutama dari neraca transaksi berjalan (current account). Namun kebijakan proaktif dan mendahului kurva (ahead the curve) meningkatkan kepercayaan investor akan ekonomi Indonesia. Terakhir, kebijakan pemerintah memberikan insentif untuk dana hasil ekspor (DHE) bagi eksportir adalah positif. Kebijakan itu diikuti langkah BI yang memisahkan rekening simpanan khusus untuk DHE, sehingga dapat dilakukan kebijakan afirmatif dalam pemberian insentif pajak. Berbagai respons kebijakan itu memberikan arah jelas bagi investor, meski tantangan ekonomi tetap ada, pemerintah bersama otoritas moneter konsisten mengatasinya. Ke depan, Indonesia perlu memanfaatkan momentum 'risk on' ini, terutama untuk mendorong investasi asing langsung berkelanjutan. Langkah pemerintah bersama BI terkait DHE memang sudah sesuai rekomendasi kami terakhir. Saat itu kami mengusulkan dua insentif untuk eksportir mengkonversi DHE ke rupiah: Pertama, memberikan kurs preferensial untuk DHE yang diparkir di bank swasta onshore. Kedua, insentif agar tidak ada biaya tambahan ketika eksportir perlu mengkonversi kembali untuk perdagangan. Langkah memberikan insentif pajak bahkan lebih baik dari usulan kami. Diharapkan, kebijakan ini akan mendorong konversi ke rupiah yang saat ini baru 15% serta meningkatkan transaksi harian FX Indonesia yang rata-rata masih US$ 5 miliar per hari atau lebih rendah dari negara tetangga sebesar US$ 10 miliar–US$ 15 miliar per hari. Indonesia berpeluang tumbuh lebih stabil dengan volatilitas yang lebih rendah. Beberapa kebijakan fiskal untuk mendorong ekspor telah dilakukan, namun ada beberapa insentif yang dapat diusulkan ke depan. Salah satu insentif adalah untuk riset teknologi yang mendorong industrialisasi. Malaysia dan Singapura telah mengeluarkan kebijakan pengurangan ganda untuk belanja korporasi di research and development (R&D). Insentif tersebut dikenakan untuk gaji, material dan bahan baku yang terkait R&D, terutama di sektor pionir. Selanjutnya insentif fiskal dikenakan berupa pengurangan pajak bagi belanja pegawai terkait training untuk peningkatan kemampuan pegawai. Berbagai insentif fiskal ini sejalan dengan inisiatif pemerintah meningkatkan jumlah dan kualitas training vokasi dalam memenuhi pola industri yang semakin berubah.
Menarik mencermati hasil survei Jetro mengenai kondisi bisnis dari perusahaan Jepang di Asia & Oceania yang menempatkan Indonesia di peringkat ke lima negara yang memiliki tantangan dalam kualitas pegawainya. Berbagai inisiatif di bidang R&D, pelatihan dan peningkatan kemampuan SDM di Indonesia akan sangat berpengaruh dalam mendorong keinginan investor berinvestasi di Indonesia. Saat ini, Indonesia masih dinilai positif, dimana sekitar 51% perusahaan Jepang ingin ekspansi. Namun Indonesia tetap harus bersaing dengan negara lain. Kebijakan konsisten pemerintah dan otoritas moneter saat ini perlu dilanjutkan. Kami meyakini Indonesia di jalur tepat dalam memanfaatkan momentum bullish ini.•
Andry Asmoro Ekonom Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi