Memantau risiko obligasi korporasi



JAKARTA. Instrumen obligasi korporasi memang menjadi salah satu instrumen yang menarik. Lewat instrumen ini, investor mendapat imbal hasil yang pasti setiap tahun dan bisa juga mencari keuntungan selisih harga lewat penjualan di pasar sekunder.

Namun, investor juga harus pilih-pilih obligasi sebelum menggelontorkan dana. Lihat saja, awal bulan Maret, para investor obligasi PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) sempat khawatir karena pelunasan obligasi perusahaan ini sempat terganjal. ELTY mengatakan, upaya refinancing utang yang terbit tahun 2008 ini tersendat.

Investor perlu mewaspadai potensi gagal bayar obligasi emiten. Analis obligasi Nusantara Capital Securities I Made Adi Saputra mengatakan, investor perlu mewaspadai obligasi sektor multifinance dan telekomunikasi tahun ini. Menurut Made, persaingan usaha kedua sektor tersebut semakin ketat.


Akibatnya, pendapatan usaha juga menipis. "Di sisi lain, struktur permodalan emiten agresif dan mereka membiayai ekspansi dengan penerbitan utang," tutur Made kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Salah satu emiten sektor telekomunikasi, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) sempat menunda pembayaran obligasi, September 2012 lalu. Ini adalah pembayaran pokok dan bunga ke-20 obligasi BTEL I tahun 2007 yang jatuh tempo 4 September 2012.

Perusahaan telekomunikasi lain, PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) yang dulu bernama PT Mobile-8 Telecom Tbk dua kali mengalami gagal bayar, yakni pada 2008 dan 2010 lalu. "Walaupun saat ini FREN telah melakukan restrukturisasi dan BTEL telah melunasi obligasi, sektor telekomunikasi masih berpotensi gagal bayar," tutur Made.

Sektor multifinance perlu diwaspadai oleh investor karena penyaluran kredit semakin melemah. Artinya, pertumbuhan pendapatan dan keuntungan perusahaan tidak terlalu tinggi. "Kemampuan perusahaan untuk membayar utang perlu diperhatikan oleh investor," kata Made.

Kemampuan perusahaan untuk membayar utang biasanya tercermin dari peringkat utang si emiten. Makin bagus peringkatnya, kemungkinan gagal bayar semakin tipis.

Sektor keuangan termasuk perusahaan pembiayaan memang mendominasi penerbitan obligasi. Bond Research Institute (BondRI) mencatat, dari total outstanding obligasi korporasi sekitar Rp 279 triliun, sekitar 40,7% terkonsentrasi di sektor keuangan.

Potensi sudah bergeser

Sektor perusahaan yang berpotensi gagal bayar mengalami perubahan dibandingkan periode 2006-2010 lalu. Direktur Utama BondRI Tumpal Sihombing mengatakan, potensi gagal bayar tertinggi pada periode tersebut terjadi pada industri properti, diikuti sektor perbankan.

Persentase gagal bayar di kedua sektor tersebut terjadi lantaran tingginya laju inflasi dan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate). "Perusahaan dari kedua sektor tersebut mengalami tekanan yang cukup besar dibanding sektor lain sehingga sulit melunasi utangnya," kata Tumpal.

BI rate melonjak 50% dari 8,5% pada Juli 2005 menjadi 12,75% per Januari 2006. Kenaikan BI rate itu mengakibatkan harga obligasi anjlok dan yield obligasi meroket.

Made mengatakan, gagal bayar pada periode tersebut berbeda dengan saat ini. Menurut dia, gagal bayar obligasi di kedua sektor tersebut dipicu oleh krisis ekonomi 2008-2009. Lagipula, saat itu sebagian besar beban utang perusahaan berdenominasi dollar Amerika Serikat (AS). "Saat itu nilai tukar rupiah juga melemah terhadap dollar AS sehingga menjadi pemicu gagal bayar. Saat ini, meski inflasi meningkat, nilai tukar rupiah lebih terkendali," kata Made.

Menurut Made, obligasi sektor properti saat ini masih bagus. Sektor ini didukung tetap tingginya permintaan konsumen. Made memaparkan, sejumlah obligasi sektor properti yang bagus, di antaranya obligasi yang dikeluarkan oleh PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Modern Land Tbk (MDLN), dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati