KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang kemarin sempat koreksi dalam bahkan sempat di bawah 6.000, saat ini sudah mulai merangkak naik ke atas 6.200. Analis menilai kondisi ini bisa saja ditopang dengan aksi
window dressing di kuartal III dan memasuki akhir tahun. Analis Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya menjelaskan fenomena
window dressing pada umumnya terjadi. “Adapun aksi ini sudah mulai terjadi beberapa saat kemarin ditandai IHSG yang sebelumnya mengalami tekanan sudah mulai
rebound,” jelasnya saat ditemui di Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (30/10).
Menurut William, IHSG sebelumnya sudah mengalami tekanan hingga di bawah 6.000 tapi saat ini sudah mampu tumbuh di atas 6.200.
Baca Juga: Menanti window dressing, simak rekomendasi dari analis berikut Selain itu menurut William masih terjaganya
capital inflow secara
year to date (ytd) sebesar Rp 43,6 triliun sedangkan
net sell hanya Rp 18,79 triliun. Artinya, investor luar masih nyaman berinvestasi di Indonesia karena laporan keuangan emiten kuartal III yang bagus dan IHSG masih terjaga di tengah kondisi saat ini. Wlliam melihat dampak
window dressing memang temporer dan bisa dilihat hingga akhir tahun. Kenaikan masih bisa dirasakan di kuartal I 2020 karena ada laporan keuangan
full year yang dirilis. Namun, Direktur Avere Investama Teguh Hidayat melihat fenomena
window dressing belum terjadi saat ini karena biasanya aksi tersebut dilakukan pada akhir tahun. “Sebab kalau dilakukan sekarang terkesan sedikit terburu-buru," katanya. Teguh menjelaskan
window dressing bukan faktor fundamental yang secara alami menggerakkan harga saham di pasar.
Window dressing adalah kecenderungan
fund manager di reksadana untuk membeli saham-saham yang turun dengan harapan saham tersebut akan
rebound sehingga kinerja reksadananya akan lebih bagus dibandingkan IHSG. Menurut Teguh reksadana sebagai pengelola aset (
asset management) diversifikasinya lebih besar dibanding investor ritel. Teguh menjelaskan biasanya fund manager reksadana ini memilih 10 saham yang merupakan
big caps mulai dari TLKM hingga UNTR. Nah, setiap tahunnya di antara 10 saham kapitalisasi pasar yang berstatus blue chips ini pasti ada yang turun cukup dalam. Teguh mencontohkan misalnya saja saham rokok
GGRM dan
HMSP atau saham perbankan yakni
BBNI dan
BMRI. Apabila saham-saham itu turun pada Desember,
fund manager biasanya akan beli dengan harapan bakal
rebound. Jadi menurut Teguh aksi ini tidak ada hubungannya dengan laporan keuangan emiten.
Baca Juga: IHSG Masih Menarik Meski di Zona Merah Saran Teguh bagi investor ritel adalah masuk sebelum Desember, minimal mulai beli saham-saham
big caps yang koreksi ini di November. Sebab kalau sudah masuk di bulan ke 12 Teguh menilai sudah terlambat karena
fund manager sudah pada borong saham-saham itu. Alhasil harganya jadi sangat mahal. Teguh menyarankan investor mencermati saham-saham
bluechips seperti perbankan yang laporan keuangannya bagus-bagus. Menurutnya yang paling menarik adalah
BMRI yang kebetulan sahamnya belum naik jadi masih menarik. Selain itu, saham
GGRM dan
HMSP juga telah mengeluarkan hasil laporan keuangan yang cemerlang. Di tengah koreksi sahamnya saat ini, investor juga disarankan untuk memanfaatkan momentumnya dengan mulai beli sahamnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi