Membaca arah utang Indonesia 2018



Di tengah keterbatasan likuiditas perbankan dan pasar modal domestik sebagai sumber pembiayaan, instrumen utang luar negeri (ULN) menjadi salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam negeri. Pembangunan proyek infrastruktur yang masif, defisit APBN yang berlanjut, serta besarnya kebutuhan dana oleh korporasi untuk modal kerja dan investasi menjadi alasan ULN masih dibutuhkan.  

Dengan suku bunga ULN yang lebih rendah dibanding domestik, beban keuangan yang ditanggung debitur menjadi lebih ringan. Namun, ULN juga menyimpan sejumlah risiko. ULN dalam jumlah jumbo yang tidak didukung oleh kemampuan finansial debitur yang memadai dapat mengancam perekonomian jika tidak dikendalikan secara cermat.

Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia, Bank Indonesia mencatat jumlah ULN Indonesia per Oktober 2017 sebesar US$ 342 miliar atau tumbuh 4,75%. Menariknya, sektor pemerintah dan swasta menunjukkan perilaku yang berbeda.


Dalam kurun waktu satu tahun terakhir pemerintah terlihat lebih agresif dalam menambah utang, sedangkan swasta cenderung  bersikap wait and see. ULN pemerintah tercatat tumbuh 8,87%, sedangkan ULN swasta hanya tumbuh 1,26%.

Agresivitas pemerintah dalam menambah porsi utang tentu bukanlah barang baru. Defisit APBN, serta pembiayaan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu alasan utama yang melatarbelakanginya. Pada APBN 2018 pemerintah mematok defisit anggaran sebesar Rp 325,9 triliun atau 2,19% terhadap produk domestik bruto (PDB). Besarnya defisit tersebut akan ditutup melalui pembiayaan utang sebesar Rp 399,2 triliun.

Pada kondisi ini pemerintah memiliki dua pilihan. Yaitu pembiayaan dalam negeri dan pembiayaan luar negeri, baik dalam bentuk loan agreement, maupun dalam bentuk  penerbitan surat berharga negara (SBN).

Namun, mencermati likuiditas perbankan domestik yang masih terbatas, pilihan penerbitan SBN luar negeri nampaknya menjadi langkah yang dapat dipertimbangkan. Selain tidak menimbulkan crowding out effect dalam negeri yang dapat memicu kenaikan suku bunga perbankan, penerbitan SBN luar negeri juga berimplikasi positif pada aliran modal masuk untuk memupuk cadangan devisa sebagai buffer antisipasi gejolak eksternal.

Per Oktober 2017, utang luar negeri pemerintah didominasi oleh instrumen SBN. Utang jenis  ini memberikan kontribusi sekitar 68,28% terhadap total utang luar negeri pemerintah.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur saat ini telah menjadi sebuah kewajiban yang tidak terelakkan lagi. Tanpa infrastruktur yang memadai, perekonomian Indonesia berpotensi memasuki  overheating dan kurang berdaya saing dalam jangka panjang.

Dalam laporan bertajuk “The World in 2050”, PwC memproyeksikan Indonesia yang saat ini menduduki peringkat kedelapan kekuatan ekonomi terbesar di dunia akan melesat menjadi peringkat kelima pada 2030 dan keempat pada 2050. Peringkat Indonesia tersebut masih di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Namun posisi tersebut lebih baik daripada kekuatan ekonomi Jepang dan Jerman yang justru saat ini menempati peringkat keempat dan kelima.

Untuk menggapai visi tahun 2050 tersebut, PwC memberikan catatan sejumlah tantangan bagi para pembuat kebijakan. Reformasi struktural, termasuk berupa investasi infrastruktur menjadi sebuah keharusan untuk menciptakan pertumbuhan jangka panjang yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Berbanding terbalik dengan pemerintah, ULN swasta sepertinya hanya akan tumbuh stagnan tahun depan. Memasuki tahun politik di 2018 yang disertai polemik penurunan daya beli masyarakat dan ketidakpastian ekonomi global, sektor swasta ditengarai lebih memilih posisi aman alias tidak ekspansif.

Secara historis, pertumbuhan ULN swasta cenderung melambat sejak akhir 2015 yang berlanjut hingga saat ini. Setelah tumbuh terakselerasi sebesar 15% pada 2014, ULN swasta hanya tumbuh 2,77% pada 2015, bahkan turun -3,92% pada 2016.

ULN swasta baru pada tahun depan diperkirakan akan didominasi pinjaman untuk membayar pinjaman sebelumnya yang akan jatuh tempo (refinancing). Jika ditinjau menurut tujuan penggunaan, ULN swasta untuk refinancing tumbuh signifikan sebesar 36%, sedangkan ULN swasta untuk modal kerja dan investasi turun -8% dan -1%.

Dari sisi supply, selisih suku bunga pinjaman yang cukup jauh antara perbankan domestik dan perbankan luar negeri seolah menjadi daya tarik bagi perbankan luar negeri untuk menyalurkan kreditnya ke Indonesia. Akuisisi bank domestik oleh bank asing menjadi tanda keseriusan mereka untuk menikmati pundi-pundi keuntungan di sektor perbankan dalam negeri.

Yang terkini, lembaga keuangan asal Negeri Sakura, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ baru saja mengakuisisi Bank Danamon. Aksi korporasi semacam ini ibarat simbiosis mutualisme. Perbankan asing semakin mudah menyalurkan kreditnya dengan margin yang lebih besar, sedangkan perbankan domestik akan semakin mudah mengakses dana luar negeri sebagai alternatif sumber likuiditas di samping dana pihak ketiga.

Utang masih sehat

Meskipun ULN Indonesia diperkirakan tumbuh moderat pada 2018, namun kondisi tersebut dinilai masih sehat. Hal ini tercermin dari rasio utang terhadap PDB yang stabil di kisaran 34,51%. Rasio tersebut masih lebih baik dibandingkan rata-rata negara peers, seperti Malaysia (68%) dan Turki (55%). Dengan cadangan devisa yang juga terus meningkat, perekonomian Indonesia masih jauh dari krisis ekonomi layaknya tahun 1998, maupun krisis ekonomi yang dialami negara Uni Eropa, seperti Yunani akibat tumpukan utang.

Seakan menjadi kado spesial di penghujung tahun 2017, Fitch mengganjar peringkat utang Indonesia naik dari BBB- dengan outlook positif menjadi BBB dengan outlook stabil. Dengan peringkat utang yang semakin membaik, yield surat utang pemerintah dan swasta akan semakin rendah.

Namun, ke depan pemerintah dan swasta wajib mewaspadai sejumlah faktor risiko. Rencana kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) untuk menaikkan suku bunga Fed Fund rate, normalisasi neraca The Fed dan reformasi pajak oleh Presiden AS Donald Trump berpotensi memicu aliran dana keluar dan pelemahan rupiah. Di lain pihak, Bank Dunia memproyeksikan kenaikan harga komoditas pada tahun 2018.

Jika dapat dimanfaatkan dengan optimal, kenaikan harga komoditas dapat meningkatkan ekspor Indonesia dan memperbaiki struktur neraca pembayaran dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah  Indonesia dan swasta tetap harus mengelola kewajiban ULN masing-masing secara prudent dan terukur.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi