Di momentum hari jadi TNI ke-72 pada 5 Oktober kemarin, militer Indonesia justru mendapat sorotan negatif. Gara-garanya adalah sejumlah langkah Panglima TNI Gatot Nurmantyo belakangan ini yang kerap memantik kontroversi. Misalnya saja, belum usai kontroversi seputar instruksi Panglima kepada jajaran prajurit untuk menonton film Pengkhianatan G30S PKI—sering dicap sebagai alat “propaganda rezim Soeharto—Jenderal Gatot melempar isu soal impor 5.000 senjata ilegal oleh satu instansi tertentu. Isu senjata ilegal ini kian diramaikan dengan kisruh pemecatan Wakil Kepala Penerangan Daerah Militer (Wakapendam) Kodam VI/Mulawarman (Mlw) karena lalai membiarkan berita soal kritik terhadap Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) lolos dimuat di situs Kodam VI/Mlw tersebut. Ini kian melengkapi beberapa kontroversi yang sudah dialamatkan kepada Panglima sebelumnya. Salah satunya, kedekatan Jenderal Gatot di lapangan pada hari H dengan demonstran aksi bela Islam 212 (2/12/2016) yang berunjuk rasa menentang pemerintah. Plus, kehadiran sang jenderal menghadiri diskusi di kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Alhasil, banyak orang membaca langkah Panglima ini sebagai manuver politik Jenderal Gatot untuk ikut berkompetisi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 nanti. Padahal, “militer yang berpolitik” dianggap menyalahi doktrin militer era reformasi yang bertekad untuk lebih profesional dan tidak ikut serta dalam politik praktis.
Membaca langkah panglima
Di momentum hari jadi TNI ke-72 pada 5 Oktober kemarin, militer Indonesia justru mendapat sorotan negatif. Gara-garanya adalah sejumlah langkah Panglima TNI Gatot Nurmantyo belakangan ini yang kerap memantik kontroversi. Misalnya saja, belum usai kontroversi seputar instruksi Panglima kepada jajaran prajurit untuk menonton film Pengkhianatan G30S PKI—sering dicap sebagai alat “propaganda rezim Soeharto—Jenderal Gatot melempar isu soal impor 5.000 senjata ilegal oleh satu instansi tertentu. Isu senjata ilegal ini kian diramaikan dengan kisruh pemecatan Wakil Kepala Penerangan Daerah Militer (Wakapendam) Kodam VI/Mulawarman (Mlw) karena lalai membiarkan berita soal kritik terhadap Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) lolos dimuat di situs Kodam VI/Mlw tersebut. Ini kian melengkapi beberapa kontroversi yang sudah dialamatkan kepada Panglima sebelumnya. Salah satunya, kedekatan Jenderal Gatot di lapangan pada hari H dengan demonstran aksi bela Islam 212 (2/12/2016) yang berunjuk rasa menentang pemerintah. Plus, kehadiran sang jenderal menghadiri diskusi di kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Alhasil, banyak orang membaca langkah Panglima ini sebagai manuver politik Jenderal Gatot untuk ikut berkompetisi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 nanti. Padahal, “militer yang berpolitik” dianggap menyalahi doktrin militer era reformasi yang bertekad untuk lebih profesional dan tidak ikut serta dalam politik praktis.