KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak bergulir di bursa berjangka CBOE Futures Exchange di Chichago, arah perdagangan Bitcoin kian moncer. Pencatatan ini memberi angin segar bahwa perdagangan mata uang kripto ini di pasar global akan semakin ramai dan harga bakal terus mendaki. Bank Indonesia justru berencana akan melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat tukar pengganti rupiah. Namun banyak pihak melihat, masih terdapat harapan besar lantaran perdagangannya tidak diharamkan. Opsinya sebagai aset investasipun jadi menawan. Singkat kata, tidak ada yang bisa menebak bahwa kenaikan nilai Bitcoin bisa tembus rekor US$ 17.000 seperti yang terjadi pada 11 Desember lalu. Pada hari itu, kontrak berjangka Bitcoin disahkan dan keesokan harinya, mata uang kreasi
pseudonym Satoshi Nakamoto dari Jepang ini mencetak rekor tertinggi di US$ 17.248, Selasa (12/12).
Secara
year to date hingga hari ini, harga Bitcoin sudah naik 1667,65% dari posisi US$ 952 per Bitcoin. Sedangkan sejak diluncurkan tahun 2010, kenaikannya sudah merusak kalkulator investasi, yakni naik 28046566,67%. Sedangkan dalam kontrak Januari 2018, Cboe Bitcoin hari ini pada pukul 16.46 WIB, berada di US$ 17.750, koreksi 1,50% dari perdagangan kemarin. Adapun sejak kontrak mulai bergulir pada 11 Desember, angkanya turun 4,27%. Oscar Darmawan, CEO Bitcoin Indonesia menyatakan, naik turunnya harga Bitcoin selayaknya komoditas dan saham, yakni bukanlah hal baru. Bahkan kenaikan harga Bitcoin yang tidak tersentuh sentimen apapun sudah selayaknya aset
safe haven namun lebih kebal. "Saham maupun komoditas lain juga sama selalu naik turun, tapi Bitcoin selalu menarik karena terlepas dari faktor ekonomi dan politik suatu negara dan sistem," kata Oscar kepada KONTAN, Rabu (13/12). Memang bitcoin sebagai mata uang maupun komoditas tidak memiliki bentuk fisik, bahkan tidak ada negara penghasil, badan regulasi dan sektor perbankan formal yang mengaturnya. Hal ini jugalah yang menjadi sumber kekhawatiran pasar. Apalagi gerak Bitcoin cenderung tidak bisa ditebak lantaran koreksi kerap disebabkan marak
profit taking. Adapun harganya terus naik karena pasar menaruh kepercayaan pada teknologi sistemnya yang dinyatakan kebal
hacker. Sedangkan relasinya pada dollar AS, mengingat Bitcoin diperdagangkan dalam valuasi
greenback, maka semakin tinggi indeks dollar maka harganya bakal makin besar dan rawan potensi
profit taking. "Bisa jadi koreksi Bitcoin saat ini terletak pada sentimen mata uang dollar AS, dan investor maupun pelaku pasar sedang fokus pada keputusan bank sentral dan reformasi pajak AS, pasti ada korelasinya," jelas Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar. Deddy juga mengingatkan, menaruh uang pada aset yang bersifat maya ini layaknya judi dengan risiko rugi tanpa jaminan. Menurut dia, saat harga sudah terlalu tinggi, aksi spekulan dimana dalam sekejap para pemain Bitcoin menggelontorkan uangnya keluar bisa terjadi. "Melihat investasi ini yang naik sangat besar, ada potensi
bubble," jelasnya. Apalagi terdapat banyak spekulan yang mengatakan harganya bisa mencapai US$ 40.000 pada akhir tahun 2018. Regulasi BI Mengenai arah regulasi BI, Yonathan Nova Dinata, seorang
trader Bitcoin asal Semarang, melihat Indonesia akan kehilangan potensi yang besar bila meniadakan Bitcoin. Pasalnya, mata uang kripto ini menjadi revolusi sistem keuangan perbankan yang sangat hebat. "Ini kan inovasi teknologi, dan yang bilang ini tidak
proven artinya mereka belum paham arah teknologi dan perbankan," jelasnya. Ia menambahkan untungnya wacana pelarangan BI tidak menutup kesempatan
trading.
Sedangkan menurut Oscar, ia mendukung putusan BI mengenai posisi rupiah sebagai alat tukar tunggal di Indonesia. "Kami tidak pernah mengarahkan Bitcoin untuk pembayaran," katanya. Yonathan sendiri bisa dibilang merupakan pemain Bitcoin yang sukses, ia bilang, pernah membeli Bitcoin di bulan Februari tahun ini di harga Rp 12 juta. Valuasinya sekarang mengutip bitcoin.co.id telah mencapai Rp 246,1 juta rupiah. Adapun dalam pantauan Kontan.co.id di situs bitcoin.co.id, jumlah anggotanya telah mencapai 721.322 member. Menurut Oscar, angka ini tak sampai 1% dari jumlah pemainnya di Jepang dan memiliki potensi terus naik karena menjadi alternatif investasi yang menarik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati