Membatiki Indonesia dari Yogya dan Sidoarjo



Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.  Penetapan PBB pada tanggal 2 Oktober 2009 ini tidaklah berlebihan. Karena sejatinya, batik memang sudah mendunia. Bahkan ada tokoh dunia yang acap mengenakan batik dalam setiap penampilannya. Sebut saja Nelson Mandela. Jangan lupa, gitaris rock Carlos Santana juga pernah mengenakan batik dalam sebuah klip videonya.

Saat ini memang banyak batik dari negara lain seperti Malaysia, Singapura, atau China, namun batik asli tentu saja buatan Indonesia. Di negara kita ini hampir setiap wilayah memiliki corak atau motif batik yang berbeda. Nah, kalau mau mendapatkan batik Yogyakarta bisa berkunjung ke Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo.  

Nah, bila ingin berburu batik Yogyakarta langsung ke tempat pembuatannya, langsung saja mengunjungi sentra produksi batik di Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo  Ada dua desa yang merupakan sentra batik: Desa Ngentakrejo dan Desa Gulurejo.


Di sini ada sekitar 30 kelompok pembatik. Selain mengerjakan batik tulis, para perajin juga memproduksi dengan sistem cap maupun kombinasinya. "Kalau tulis hasilnya bagus tapi harganya lebih mahal, jadi peminatnya terbatas," tutur Murniati, salah seorang pembatik.

Harga yang dibanderol memang bervariasi tergantung kerumitan motif, jenis batik, dan kainnya. Per lembarnya mulai Rp 75.000–Rp 500.000. Dalam sebulan ia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 20 juta.

Surasa RP, salah satu pemilik rumah produksi batik menuturkan, bahwa para pembatik di Desa Ngentakrejo dan Gulurejo awalnya berprofesi sebagai pekerja di sentra batik wilayah lain, seperti Kota Yogyakarta atau sering disebut "njeron beteng". Padahal, untuk menuju lokasi produksi butuh ongkos cukup mahal. "Sekitar tahun 2009 para buruh di sentra batik tadi, termasuk saya, mulai mendirikan usaha sendiri," tutur Surasa.

Namun, kalau ingin motif batik yang agak berbeda bisa juga berkunjung ke salah satu gang yang letaknya tak jauh dari jantung kota Sidoarjo, tepatnya di daerah Jetis. Di sini terdapat sentra pembuatan batik tulis khas Sidoarjo. Orang-orang sekitar menyebut gang tersebut Kampung batik Jetis.   

Kejayaan sentra ini berlangsung cukup lama, hingga era 1990-an. Namun, kini kejayaannya kian redup, hanya 30% perajin yang mampu bertahan di sana. Sebagian besar gulung tikar karena tak tahan menghadapi ketatnya persaingan bisnis batik dan pasar yang semakin menurun.

Hal tersebut diamini  Miftach, salah satu perajin batik tulis legendaris sekaligus pemilik kios batik Dahlia. Miftach telah menjadi perajin batik tulis khas Sidoarjo sejak 1975, hingga saat ini dirinya masih memproduksi batik. “Saya masih produksi, tapi sudah tidak kuat untuk menciptakan motif-motif baru. Dulu waktu zaman muda, saya bikin terus,” ungkapnya.

Kain batik tulis hasil karya Miftach ukuran 2,25 meter dibanderol mulai Rp 250.000 per lembar. Di samping menjual bahan kain, ia juga membuat kemeja batik khusus pria. Kemeja batik lengan panjang ia jual Rp 350.000 per lembar, kemeja lengan pendek seharga Rp 320.000 per lembar.

Tak jauh dari kios milik Miftach, terdapat juga kios legendaris lainnya, yakni kios batik tulis milik Djauhariah.  Lain halnya dengan Miftach, Djauhariah membanderol kain batik tulisnya sedikit lebih bervariasi, yakni mulai Rp 150.000 hingga Rp 1,5 juta. Ia menjual lebih banyak variasi juga, mulai dari lembaran kain hingga berbagai macam pakaian jadi pria dan wanita.

Namun, meskipun sama-sama batik. Batik Yogyakarta dan Sidoardjo memiliki beberapa perbedaan. Batik Yogya lebih banyak menggunakan warna putih putih, hitam, dan cokelat. Batik biasanya bercorak gambar burung, binatang, atau manusia. Kalau batik Sidoarjo, awal berwarna gelap (cokelat). Namun, karena konsumennya kebanyak orang Madura yang menyukai warna-warna cerah dan mencolok, batik Sidoardjo akhirnya memakai warna-warna seperti merah, biru, hijau, hitam. Corak batik Sidoarjo di antara beras utah, kembang bayem, dan kebun tebu.

Motif-motif itu mengandung filosofi sendiri. Motif beras utah menunjukkan bahwa penduduk Sidoarjo senang berbagi. Produksi padi yang melimpah di Sidoarjo disalurkan ke daerah lain yang membutuhkan. Motif kembang bayem menunjukkan bahwa banyak sayuran bayam di Sidoarjo.  Adapun motif kebun tebu ini menunjukkan bahwa dulu Sidoarjo merupakan penghasil gula terbesar.

Jadi, sejatinya motif batik Indonesia memiliki filosofi sendiri. Tidak berlebihan kalau batik Indonesia dikagumi di luar negeri. Sudah cantik, motifnya mengandung filosofi hidup orang Indonesia pula. Selamat berbatik di akhir pekan. Salam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi