Gedung atau mural sejatinya hanya benda mati. Namun, di tangan Adi Panuntun, sebuah gedung bisa disulap sedemikian rupa hingga bisa visualasasi suatu kisah sejarah. Rahasianya, Adi menggunakan teknik pemetaan video alias video mapping. Tak sekedar bercerita, dengan teknik itu, Anda bahkan bisa melihat pertunjukan seolah-olah sebuah gedung terbakar atau runtuh.Video maping semacam layar tancap versi modern. Gedung dijadikan latar atau layar untuk visualisasi gambar-gambar yang bergerak cepat. Gambar grafis yang asalnya dari komputer diproyeksikan ke dinding gedung menggunakan proyektor video beresolusi tinggi. Belakangan ini, video maping memang sedang ramai diperbincangkan di Indonesia. Bisa dibilang semua itu berawal dari pertunjukan video mapping di dinding Museum Fatahillah, Jakarta hasil karya Adi. Idenya muncul ketika sedang menyusun tesis sebagai persyaratan lulus jurusan Design Management di School of Design, Northumbria University, Inggris pada 2011 silam. "Riset saya mencari bentuk pertunjukan publik yang bisa mengembalikan fungsi ruang publik pada masyarakat," tutur Founder sekaligus Creative Head PT Sembilan Matahari ini.Kebetulan, ketika itu, teknik video mapping sedang gencar dieksplorasi oleh teman-temannya di Eropa. Maka, dibantu British Council, Adi pun membuat pertunjukan video mapping di dinding Museum Fatahillah. Sarjana lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini pun tidak berhenti berkarya. Selain Fatahillah, sejumlah gedung menjadi media pertunjukan video mapping buatannya bersama Sembilan Matahari. Sebut saja, gedung Sate di Bandung dan Museum Batik di Pekalongan. Adi memang tergelitik menggabungkan aspek kreativitas dengan aspek lokal untuk diproyeksikan pada dinding bangunan.Orderan pun kian banyak mengalir pada Sembilan Matahari. Perusahaan terkenal seperti Telkom, produsen rokok, Ciputra World hingga pertunjukan musik di Metro TV pernah menggunakan jasa Sembilan Matahari.Dosen Binus International ini mengaku, butuh waktu 1,5 bulan untuk menyiapkan sebuah pertunjukan video mapping. Persiapan diawali dengan merumuskan gagasan pertunjukan. Kemudian, masuk pada proses produksi yang memadukan foto, musik, film, dan desain grafis. Selanjutnya, kreasi itu divisualisasikan melalui sejumlah proyektor pada medium yang tidak datar. "Kami bisa proyeksikan gambar hingga memberi dramatisasi tertentu, seperti permukaan mengelupas atau retak," papar Adi.Meski mulai banyak bermunculan pemain di video mapping, namun pria 24 tahun ini mengklaim, format kualitas video mapping buatannya punya ciri khas. Tak hanya mampu menimbulkan kejutan visual, tapi juga struktur cerita yang menarik. Setiap karyanya dibanderol sekitar Rp 25 juta-Rp 100 juta untuk skala kecil. Sedangkan, skala besar di atas Rp 100 juta. Adi mengaku, Sembilan Matahari bisa mendapat minimal dua order pembuatan video mapping dalam sebulan. Dari situ, perusahaan yang berpusat di Bandung ini bisa mengantongi untung bersih Rp 250 juta sebulan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Membawa teknik video mapping dikenal di Indonesia
Gedung atau mural sejatinya hanya benda mati. Namun, di tangan Adi Panuntun, sebuah gedung bisa disulap sedemikian rupa hingga bisa visualasasi suatu kisah sejarah. Rahasianya, Adi menggunakan teknik pemetaan video alias video mapping. Tak sekedar bercerita, dengan teknik itu, Anda bahkan bisa melihat pertunjukan seolah-olah sebuah gedung terbakar atau runtuh.Video maping semacam layar tancap versi modern. Gedung dijadikan latar atau layar untuk visualisasi gambar-gambar yang bergerak cepat. Gambar grafis yang asalnya dari komputer diproyeksikan ke dinding gedung menggunakan proyektor video beresolusi tinggi. Belakangan ini, video maping memang sedang ramai diperbincangkan di Indonesia. Bisa dibilang semua itu berawal dari pertunjukan video mapping di dinding Museum Fatahillah, Jakarta hasil karya Adi. Idenya muncul ketika sedang menyusun tesis sebagai persyaratan lulus jurusan Design Management di School of Design, Northumbria University, Inggris pada 2011 silam. "Riset saya mencari bentuk pertunjukan publik yang bisa mengembalikan fungsi ruang publik pada masyarakat," tutur Founder sekaligus Creative Head PT Sembilan Matahari ini.Kebetulan, ketika itu, teknik video mapping sedang gencar dieksplorasi oleh teman-temannya di Eropa. Maka, dibantu British Council, Adi pun membuat pertunjukan video mapping di dinding Museum Fatahillah. Sarjana lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini pun tidak berhenti berkarya. Selain Fatahillah, sejumlah gedung menjadi media pertunjukan video mapping buatannya bersama Sembilan Matahari. Sebut saja, gedung Sate di Bandung dan Museum Batik di Pekalongan. Adi memang tergelitik menggabungkan aspek kreativitas dengan aspek lokal untuk diproyeksikan pada dinding bangunan.Orderan pun kian banyak mengalir pada Sembilan Matahari. Perusahaan terkenal seperti Telkom, produsen rokok, Ciputra World hingga pertunjukan musik di Metro TV pernah menggunakan jasa Sembilan Matahari.Dosen Binus International ini mengaku, butuh waktu 1,5 bulan untuk menyiapkan sebuah pertunjukan video mapping. Persiapan diawali dengan merumuskan gagasan pertunjukan. Kemudian, masuk pada proses produksi yang memadukan foto, musik, film, dan desain grafis. Selanjutnya, kreasi itu divisualisasikan melalui sejumlah proyektor pada medium yang tidak datar. "Kami bisa proyeksikan gambar hingga memberi dramatisasi tertentu, seperti permukaan mengelupas atau retak," papar Adi.Meski mulai banyak bermunculan pemain di video mapping, namun pria 24 tahun ini mengklaim, format kualitas video mapping buatannya punya ciri khas. Tak hanya mampu menimbulkan kejutan visual, tapi juga struktur cerita yang menarik. Setiap karyanya dibanderol sekitar Rp 25 juta-Rp 100 juta untuk skala kecil. Sedangkan, skala besar di atas Rp 100 juta. Adi mengaku, Sembilan Matahari bisa mendapat minimal dua order pembuatan video mapping dalam sebulan. Dari situ, perusahaan yang berpusat di Bandung ini bisa mengantongi untung bersih Rp 250 juta sebulan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News