Jakarta. Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia tak lagi bisa berkelit dari kewajiban membayar pajak. Selama ini, berdalih beraktivitas di sektor informal yang belum memiliki pencatatan dan pembukuan yang rapi, banyak UMKM mangkir menyetor pajak.Aturan pengenaan pajak penghasilan (PPh) bagi UMKM ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto (Omzet) Tertentu. Presiden meneken beleid tersebut pada 12 Juni dan langsung berlaku 1 Juli lalu.PP ini sama sekali tidak menyebut pengenaan PPh khusus untuk UMKM. Upaya itu untuk menghindari pengelompokan yang tersendiri buat UMKM yang berbeda dengan kelompok usaha lainnya di bidang perpajakan. Namun, batasan omzet pada PP tersebut masuk dalam definisi UMKM menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.Wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) dan WP badan dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun harus menyetor PPh fi nal 1% dari omzet. WP membayar PPh ini setiap bulan. Penyetoran PPh berlangsung tiap tanggal 15, sedangkan pelaporan pada tanggal 20 tiap bulan. Mekanisme penyetoran dan pelaporan PPh serta detail-detail lain akan diatur melalui peraturan menteri keuangan. Secara eksplisit, ada juga kriteria WP yang dikecualikan dari aturan ini. Untuk WP OP, kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang dalam usahanya memakai sarana atau prasarana yang bisa dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, tidak terkena aturan ini. PP tersebut memberikan contoh, yakni para pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda, dan sejenisnya.Sementara, kriteria yang dikecualikan untuk WP badan adalah yang belum beroperasi secara komersial, atau dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi angka Rp 4,8 miliar.Pemerintah menyebut, aturan ini sebagai insentif bagi UMKM. Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan mengatakan, dengan membayar pajak yang otomatis memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pelaku UMKM bakal lebih mudah mendapatkan kucuran kredit dari perbankan. “Bila punya laporan keuangan, itu artinya mereka makin tertib,” katanya.Dari Kementerian Keuangan, pengenaan PPh fi nal dari omzet ini adalah bentuk kemudahan dan penyederhanaan dalam penghitungan pajak. Selain itu, “Aturan ini bisa membuka jalan bagi pengusaha informal untuk membayar pajak yang selama ini masih sedikit,” kata Menteri Keuangan Chatib Basri.Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kismantoro Petrus menyodorkan bukti. Banyak sentra usaha yang hasil pajaknya tidak sesuai dengan potensi dan realitas bisnisnya. Salah satu contohnya di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Perputaran uang di pasar ini sudah ratusan miliaran rupiah per hari, tapi hanya menghasilkan setoran pajak sebesar Rp 6 juta.Tunda duluSelama ini, pembayaran PPh dihitung dari penghasilan neto. Tarif PPh untuk WP OP bersifat progresif dari 5%–30%. Adapun untuk WP badan sebesar 25%. Sedangkan WP badan dengan omzet di bawah Rp 50 miliar hanya membayar separuh tarif PPh badan atau 12,5%. Bagi WP OP dan badan yang belum memiliki pembukuan, bisa membayar PPh sesuai norma penghitungan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No.536/PJ./2000.Pengamat pajak Agus Susanto Lihin menilai kebijakan pajak final dan besarannya ini sudah tepat. Tujuannya memudahkan wajib pajak membayar pajak. Namun, pelaku usaha sebenarnya tengah terbebani kenaikan biaya operasional akibat kenaikan upah dan harga bahan bakar minyak. “Ini memberatkan pelaku UMKM,” kata Agus.Dia menyarankan, pemerintah menunda pelaksanaan aturan ini hingga awal tahun 2014. Penundaan ini sekaligus menunggu aturan teknis turunan dari PP itu selesai dibuat dan disosialisasikan ke WP. Penerapan aturan di tengah tahun pajak juga menyulitkan WP, karena membayar pajak satu tahun dengan dua jenis penghitungan pajak yang berbeda.Pengamat pajak Darusalam menambahkan, penerapan pajak final ini memiliki dampak yang menguntungkan sekaligus merugikan, baik bagi UMKM maupun pemerintah. Ada sebagian UMKM yang membayar PPh lebih kecil dan lebih besar dari aturan PPh sebelumnya. Otomatis, pemerintah pun bisa berkurang atau bertambah pemasukan pajaknya.Tapi, Darusalam melihat, aturan ini sebagai upaya pemerintah memasukkan pelaku UMKM ke dalam sistem perpajakan. Seharusnya, aturan PPh fi nal berbasis omzet ini bersifat sementara, cukup dua tahun atau tiga tahun saja. Makanya, ia berharap, pelaku UMKM mau masuk ke sistem perpajakan dengan memenuhi aturan ini.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 41 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Membedah aturan pajak penghasilan baru bagi UMKM
Jakarta. Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia tak lagi bisa berkelit dari kewajiban membayar pajak. Selama ini, berdalih beraktivitas di sektor informal yang belum memiliki pencatatan dan pembukuan yang rapi, banyak UMKM mangkir menyetor pajak.Aturan pengenaan pajak penghasilan (PPh) bagi UMKM ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto (Omzet) Tertentu. Presiden meneken beleid tersebut pada 12 Juni dan langsung berlaku 1 Juli lalu.PP ini sama sekali tidak menyebut pengenaan PPh khusus untuk UMKM. Upaya itu untuk menghindari pengelompokan yang tersendiri buat UMKM yang berbeda dengan kelompok usaha lainnya di bidang perpajakan. Namun, batasan omzet pada PP tersebut masuk dalam definisi UMKM menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.Wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) dan WP badan dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun harus menyetor PPh fi nal 1% dari omzet. WP membayar PPh ini setiap bulan. Penyetoran PPh berlangsung tiap tanggal 15, sedangkan pelaporan pada tanggal 20 tiap bulan. Mekanisme penyetoran dan pelaporan PPh serta detail-detail lain akan diatur melalui peraturan menteri keuangan. Secara eksplisit, ada juga kriteria WP yang dikecualikan dari aturan ini. Untuk WP OP, kegiatan usaha perdagangan dan jasa yang dalam usahanya memakai sarana atau prasarana yang bisa dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, tidak terkena aturan ini. PP tersebut memberikan contoh, yakni para pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda, dan sejenisnya.Sementara, kriteria yang dikecualikan untuk WP badan adalah yang belum beroperasi secara komersial, atau dalam jangka waktu satu tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebihi angka Rp 4,8 miliar.Pemerintah menyebut, aturan ini sebagai insentif bagi UMKM. Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan mengatakan, dengan membayar pajak yang otomatis memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), pelaku UMKM bakal lebih mudah mendapatkan kucuran kredit dari perbankan. “Bila punya laporan keuangan, itu artinya mereka makin tertib,” katanya.Dari Kementerian Keuangan, pengenaan PPh fi nal dari omzet ini adalah bentuk kemudahan dan penyederhanaan dalam penghitungan pajak. Selain itu, “Aturan ini bisa membuka jalan bagi pengusaha informal untuk membayar pajak yang selama ini masih sedikit,” kata Menteri Keuangan Chatib Basri.Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kismantoro Petrus menyodorkan bukti. Banyak sentra usaha yang hasil pajaknya tidak sesuai dengan potensi dan realitas bisnisnya. Salah satu contohnya di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Perputaran uang di pasar ini sudah ratusan miliaran rupiah per hari, tapi hanya menghasilkan setoran pajak sebesar Rp 6 juta.Tunda duluSelama ini, pembayaran PPh dihitung dari penghasilan neto. Tarif PPh untuk WP OP bersifat progresif dari 5%–30%. Adapun untuk WP badan sebesar 25%. Sedangkan WP badan dengan omzet di bawah Rp 50 miliar hanya membayar separuh tarif PPh badan atau 12,5%. Bagi WP OP dan badan yang belum memiliki pembukuan, bisa membayar PPh sesuai norma penghitungan penghasilan neto yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak No.536/PJ./2000.Pengamat pajak Agus Susanto Lihin menilai kebijakan pajak final dan besarannya ini sudah tepat. Tujuannya memudahkan wajib pajak membayar pajak. Namun, pelaku usaha sebenarnya tengah terbebani kenaikan biaya operasional akibat kenaikan upah dan harga bahan bakar minyak. “Ini memberatkan pelaku UMKM,” kata Agus.Dia menyarankan, pemerintah menunda pelaksanaan aturan ini hingga awal tahun 2014. Penundaan ini sekaligus menunggu aturan teknis turunan dari PP itu selesai dibuat dan disosialisasikan ke WP. Penerapan aturan di tengah tahun pajak juga menyulitkan WP, karena membayar pajak satu tahun dengan dua jenis penghitungan pajak yang berbeda.Pengamat pajak Darusalam menambahkan, penerapan pajak final ini memiliki dampak yang menguntungkan sekaligus merugikan, baik bagi UMKM maupun pemerintah. Ada sebagian UMKM yang membayar PPh lebih kecil dan lebih besar dari aturan PPh sebelumnya. Otomatis, pemerintah pun bisa berkurang atau bertambah pemasukan pajaknya.Tapi, Darusalam melihat, aturan ini sebagai upaya pemerintah memasukkan pelaku UMKM ke dalam sistem perpajakan. Seharusnya, aturan PPh fi nal berbasis omzet ini bersifat sementara, cukup dua tahun atau tiga tahun saja. Makanya, ia berharap, pelaku UMKM mau masuk ke sistem perpajakan dengan memenuhi aturan ini.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 41 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News