KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi pasar obligasi Indonesia diproyeksikan masih akan bergerak fluktuatif hingga akhir tahun. Ancaman tingginya inflasi serta tren kenaikan suku bunga global menjadi risiko yang harus dihadapi. Namun, kondisi ekonomi domestik yang terjaga bisa jadi katalis positif menahan tekanan eksternal tersebut. Head of Research & Market Information Department PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie mengatakan, secara outlook, pasar obligasi masih akan cenderung volatile pada sisa tahun ini. Menurutnya, hal ini seiring dengan kondisi ketidakpastian global yang akan menekan pasar obligasi dalam negeri.
Ia bilang, risiko utama pasar global adalah ancaman stagflasi yang datang dari keputusan bank sentral yang menaikkan suku bunga untuk meredam tingginya inflasi. Namun imbasnya, perekonomian cenderung melambat.
Baca Juga: Sama-sama Rilis Green Bond, Begini Prediksi Pergerakan Saham BBRI dan BBNI Pada akhirnya, hal tersebut akan memicu resesi ekonomi di Amerika Serikat, maupun beberapa negara maju lainnya. Selain itu, dia juga menyebut kenaikan suku bunga akan memicu naiknya yield US Treasury. Berdasarkan proyeksinya, The Fed masih bisa menaikkan suku bunga secara agresif sekitar 50 bps-75 bps di empat pertemuan bulan yang tersisa. Alhasil, dengan naiknya yield US Treasury, maka spread dengan SBN juga akan semakin menyempit. Secara tren, pergerakan spread yield US Treasury dengan yield SBN acuan 10 tahun memang terus menyempit. Pada 2021, spread masih berkisar 500 bps, namun, saat ini spread sudah menjadi 425 bps. “Jika terus menyempit, investor pada akhirnya akan lebih memilih US Treasury karena jauh lebih menarik. SBN akan dipandang punya risiko yang tinggi, sementara US Treasury yang merupakan safe haven, tapi juga menawarkan yield yang tidak kalah tinggi,” katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (23/6). Sementara dari dalam negeri, Roby melihat dalam jangka pendek, pergerakan yield SBN juga akan ditentukan oleh keputusan Bank Indonesia (BI). Jika BI memutuskan untuk menahan suku bunga, terdapat peluang untuk yield SBN acuan 10 tahun akan menguat dari posisi saat ini, setidaknya untuk jangka pendek. Sedangkan jika suku bunga naik, maka yield SUN akan menyesuaikan kenaikan tersebut sehingga berpotensi melemah dari posisi saat ini. Namun, secara keseluruhan, ia menilai outlook pasar obligasi Indonesia juga akan ditopang oleh penurunan defisit fiskal pada APBN 2022. Hingga April 2022, anggaran Indonesia masih surplus 0,58%, berbanding terbalik bila dibandingkan dengan periode Januari - April 2021 dengan defisit 0,8%. Lebih lanjut, kelanjutan burden sharing antara Bank Indonesia dan pemerintah pada tahun ini diyakini juga dapat menjaga kondisi pasar surat utang Indonesia.
Baca Juga: Tren Suku Bunga Meningkat, Green Bond Jadi Memikat “Keyakinan investor juga akan terjaga karena rating utang Indonesia yang terjaga, bahkan outlook Indonesia juga naik menjadi stabil oleh Standard & Poor’s,” imbuhnya. Sementara itu Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan melihat langkah pemerintah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi bisa menambah APBN. Tapi, hal tersebut dinilai tidak akan memberikan efek yang negatif. Pasalnya, kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi dapat dibiayai oleh kenaikan pendapatan dari sektor komoditas sehingga beban APBN tetap terjaga. Dalam APBN Perubahan 2022, target pendapatan naik 23,1% sementara anggaran belanja naiknya lebih rendah yakni 14,4%, sehingga defisit anggaran justru membaik di mana semula 4,85% dari PDB menjadi 4,5% dari PDB. Dia menilai, perubahan postur APBN ini positif bagi pasar obligasi karena mengurangi risiko tekanan inflasi dan mengurangi asumsi penerbitan SBN tahun ini. Secara umum, Katarina melihat bahwa tekanan di pasar obligasi sudah berkurang saat ini. Dari sisi domestik, tekanan inflasi diperkirakan lebih terjaga dari ekspektasi pasar sebelumnya didukung keputusan pemerintah untuk menjaga harga BBM Pertalite dan tarif listrik bersubsidi. Sementara pendapatan pemerintah yang meningkat dari sektor komoditas juga membawa angin positif bagi APBN, karena bisa membiayai naiknya subsidi dan mengurangi penerbitan SBN. Selain itu, dengan tingkat inflasi yang lebih terjaga maka kenaikan suku bunga Bank Indonesia juga dapat menjadi lebih konservatif dibandingkan perkiraan pasar sebelumnya.
Baca Juga: Hadapi Ancaman Resesi, Simak Racikan Portofolio Investasi untuk Investor Berikut “Dari sisi eksternal, kami melihat masih ada kemungkinan untuk The Fed beranjak lebih dovish seiring dengan outlook ekonomi AS yang melemah dan tekanan inflasi yang mereda. Perubahan postur The Fed yang lebih dovish dapat menjadi katalis bagi pasar obligasi,” tutur Katarina.
Dengan kondisi saat ini, Roby menyebut strategi investasi yang bisa diterapkan di tengah kondisi pasar SBN yang
bearish adalah dengan memperbanyak posisi di SBN bertenor pendek untuk meminimalisir pergerakan pasar yang tengah volatil. Tapi di satu sisi, pelemahan yield juga menjadi
window opportunity yang menarik untuk ambil posisi seiring potensi
upside secara jangka panjang. “Hanya saja, posisi untuk masuk cukup tricky, karena ke depan juga masih ada peluang kenaikan suku bunga The Fed maupun BI yang bisa menjadi sentimen negatif untuk yield SBN,” tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi