Membedah rekor cadangan devisa



Sektor eksternal Indonesia menunjukkan kinerja memuaskan sepanjang tahun 2017 yang lalu. Posisi cadangan devisa Indonesia mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Bank Indonesia (BI) merilis jumlah cadangan devisa Indonesia per Desember 2017 sebesar US$130,20 miliar atau meningkat US$13,8 miliar dibanding tahun sebelumnya.

Jumlah cadangan devisa tersebut sejatinya bisa mencukupi untuk membiayai 8,6 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional yakni sekitar tiga bulan impor. Seiring dengan jumlah cadangan devisa yang terus meningkat, perekonomian Indonesia dipercaya masih jauh dari kondisi krisis. Kalau misalnya dibandingkan dengan krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008, jumlah cadangan devisa Indonesia saat ini masih jauh lebih baik.

Posisi cadangan devisa Indonesia pada tahun 1998 dan 2008 tercatat masing-masing sebesar US$17,4 miliar serta US$ 80,2 miliar. Artinya, cadangan devisa Indonesia saat ini telah melesat hingga 664% dibanding 19 tahun silam. Atau melonjak  62% selama sembilan tahun terakhir.


Secara teori, cadangan devisa berperan penting sebagai bantalan (buffer) untuk meredam potensi gejolak eksternal. Sebab cadangan devisa merupakan salah satu alat kebijakan moneter oleh bank sentral untuk menjaga volatilitas kurs pada level yang aman melalui intervensi nilai tukar.

Saat terjadi pelemahan mata uang domestik akibat jumlah valuta asing yang terbatas, bank sentral langsung akan menggelontorkan cadangan devisa untuk menstabilkan kondisi pasar. Di samping itu, kenaikan jumlah cadangan devisa turut memberikan kepercayaan kepada pelaku pasar bahwa negara kita mampu memenuhi kewajibannya terhadap pihak luar negeri.

Tiga isu krusial

Berdasarkan data Neraca Pembayaran Indonesia per Triwulan III-2017, Bank Indonesia mencatat kontribusi terbesar terhadap kenaikan cadangan devisa Indonesia disumbang oleh surplus transaksi finansial. Sementara itu, transaksi berjalan justru mencatatkan hasil defisit. Tren defisit transaksi berjalan tersebut telah dimulai sejak tahun 2012 yang disebabkan defisit neraca jasa dan defisit pendapatan primer.

Di tengah euoforia rekor cadangan devisa pada penghujung tahun 2017, terdapat tiga isu krusial yang harus diperhatikan. Pertama, nilai defisit pendapatan primer lebih besar dari surplus neraca finansial selama tiga tahun terakhir. Defisit pendapatan primer sebesar US$ 24,8 miliar, sedangkan surplus neraca finansial US$ 23,4 miliar.

Artinya, pembayaran total bunga dan deviden kepada asing lebih besar daripada total investasi dan pinjaman asing baru yang masuk pada periode berjalan. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi sejak dini, penambahan investasi asing dan pinjaman asing justru bisa menjadi senjata makan tuan. Di sisi lain, investasi dan pinjaman asing baru merupakan hal yang tidak terelakkan, apabila melihat besarnya kebutuhan pembiayaan proyek infrastruktur oleh pemerintah.

Salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh ialah penerbitan obligasi berdenominasi Rupiah di luar negeri atau Global IDR Bond (Komodo Bond). Setidaknya ada beberapa kelebihan dari penerbitan surat utang jenis ini, yaitu suku bunga kredit (yield) yang lebih rendah dibandingkan domestik, tidak ada risiko nilai tukar dan menghindari terjadinya crowding out effect dalam negeri.

Jasa Marga tercatat sebagai korporasi penerbit Komodo Bond pertama pada akhir tahun lalu. Dengan yield sebesar 7,5% per tahun, total permintaan mencapai sekitar Rp 15,7 triliun atau melebihi target awal yang  sebesar Rp 4 triliun. Jika menyimak kesuksesan yang diraih Jasa Marga, tidak menutup kemungkinan instrumen serupa akan diikuti oleh korporasi lainnya untuk meraup pendanaan baru.

Kedua, nilai capital inflow berupa investasi portofolio lebih besar ketimbang investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Nilai investasi portofolio oleh investor asing mencapai US$ 20,6 miliar, sedangkan nilai FDI sebesar US$15,5 miliar. Besarnya aliran hot money yang masuk tersebut dapat berisiko pada terjadinya capital reversal dengan mudah apabila ada gejolak pada stabilitas kondisi makro ekonomi dan eksternal.

Mengingat Indonesia menganut sistem devisa bebas, maka pemerintah wajib mempertahankan predikat layak investasi atawa investment grade agar kepercayaan investor global atas iklim investasi Indonesia tetap terjaga. Selain itu, pemerintah juga wajib menggenjot masuknya investasi asing baru berupa FDI di sektor industri pengolahan berorientasi ekspor dan substitusi impor.

Ketiga, permasalahan defisit neraca jasa yang tidak kunjung selesai selama lebih dari satu dasawarsa. Defisit neraca jasa hingga triwulan III-2017 mencapai US$ 5,59 miliar. Lebih dari 80% persoalan ini bersumber dari defisit jasa transportasi barang yang mencapai US$ 3,93 miliar.

Indonesia National Shipowner’s Association (INSA) menyatakan penggunaan kapal asing pada kegiatan angkutan ekspor impor tahun 2016 mencapai 93,7%. Selain kapal, dominasi asing juga terlihat dari asuransi kemaritiman nasional yang didominasi asuransi dari perusahaan asing dengan jumlah sebesar 87%. Di samping itu, negara Singapura dan Malaysia jadi tempat favorit kapal untuk bersandar dan melakukan bongkar muat barang.

Kita patut mengapresiasi kebijakan pemerintah yang telah merilis Permendag No. 82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu pada akhir Oktober 2017. Beleid tersebut mewajibkan kegiatan ekspor minyak sawit, batubara dan beras menggunakan angkutan laut dan asuransi domestik.

Tidak hanya sekadar mengurangi defisit neraca jasa, namun penerapan ketentuan ini diharapkan juga dapat memberi rangsangan alias menstimulus sektor industri terkait lainnya  atau bisa terjadi multiplier effect, misal industri galangan kapal dan industri komponen.

Dengan mempertimbangkan ketiga catatan di atas, rasanya bukanlah hal yang mustahil jika cadangan devisa akan kembali memecahkan rekor baru di tahun 2018. Kondisi ekonomi domestik yang stabil dengan sejumlah proyek infrastruktur yang saat ini masih terus digenjot menjadi sebagian kecil contoh alasan optimisme pencapaian rekor cadangan devisa dari sisi makro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi