Membela mata uang merah putih



Rupiah benar-benar babak belur menghadapi dollar Amerika Serikat (AS). Mata uang garuda bahkan sempat tersungkur di posisi Rp 14.541 per dollar AS, paling lemah dalam tiga tahun terakhir. Padahal, Bank Indonesia (BI) sudah gencar mengintervensi pasar dan mengerek suku bunga acuan.

Alhasil, cadangan devisa negara kita pun tergerus dalam, dari US$ 131,98 miliar di akhir Januari 2018 menjadi tinggal US$ 119,83 miliar pada ujung Juni lalu. Salah satunya terpakai untuk operasi menguatkan rupiah. Sementara suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate naik 100 basis poin (bsp) dalam tempo dua bulan menjadi 5,25%.

BI pun mengeluarkan dua jurus anyar. Pertama, mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor 9 dan 12 bulan. Kedua, meluncurkan  mekanisme suku bunga baru INDONIA yang akan menggantikan suku bunga satu malam alias overnight dalam JIBOR, yang selama ini menjadi acuan bunga pasar uang antarbank (PUAB).


Pemerintah pun tidak tinggal diam, meski pelemahan rupiah sejatinya berdampak positif ke keuangan negara. Maklum, setiap rupiah melemah Rp 100 per dollar AS, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) berpotensi surplus Rp 1,5 triliun-Rp 1,6 triliun. Pemerintah mematok target nilai tukar rupiah di APBN 2018 sebesar Rp 13.400. Rata-rata kurs rupiah sepanjang semester satu Rp 13.746. Itu berarti, surplus anggaran dari pelemahan rupiah setidaknya bisa Rp 4,5 triliun.

Sebetulnya, rupiah yang melemah bisa jadi "insentif" buat eksportir. Dan, mendongkrak ekspor jadi salah satu upaya pemerintah di tengah pelemahan rupiah. Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan para pembantunya: peningkatan ekspor harus mendapatkan usaha ekstra.

Ini jadi salah satu strategi pemerintah untuk menyedot dollar AS ke tanah air. Pasokan dollar AS yang melimpah penting untuk memperkuat cadangan devisa kita guna stabilitas rupiah.

Masalahnya, perang dagang AS-China berpotensi besar menekan ekspor kita. Negeri Uak Sam merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia. Tambah lagi, AS akan mengevaluasi barang-barang impor dari negara kita.

Memang, terbuka peluang ekspor ke pasar non-tradisional, yakni negara-negara yang selama ini bukan menjadi mitra dagang utama Indonesia. Diversifikasi pasar ekspor selama bertahun-tahun selalu pemerintah gadang-gadang. Rupanya, para eksportir belum tertarik masuk.

Sebetulnya, pasar tradisional masih bisa dimainkan. Hanya saja, daya saing produk-produk kita kalah dengan China bahkan Vietnam. Contoh, kerajinan keramik. Harga produk buatan China apalagi Vietnam jauh lebih murah. Jadi, pekerjaan rumah pemerintah bukan cuma mencari pasar baru untuk produk ekspor kita tapi juga  harus meningkatkan daya saing produk anak bangsa.

Sambil meningkatkan ekspor, pemerintah berencana mengurangi impor biar persediaan dollar AS di dalam negeri tetap melimpah. Salah satu caranya: menunda proyek-proyek infrastruktur dengan kandungan barang impor yang tinggi. Masalahnya, penundaan proyek bisa jadi ganjalan laju pertumbuhan ekonomi. Maklum, belanja pemerintah jadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Langkah pemerintah mengurangi impor solar dengan memperluas kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 20% ke semua sektor bukan public service obligation (PSO) lebih tepat. Sektor non-PSO mencakup industri, transportasi bukan PSO, serta pertambangan. Ini juga bisa mendongkrak kinerja industri biodiesel dalam negeri.

BI dan pemerintah memang harus mati-matian membela mata uang merah putih.•

SS Kurniawan                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi